Sabtu, 26 Desember 2009

Sendiri

Sendiri

Di sinilah aku, di dalam kamarku, terbaring sendiri di atas ranjangku, melewati hari yang bagai tak berujung. Kesepian. Aku merasakannya sekarang. Hanya ada aku dan pembantu menyebalkan di rumahku. Aku memandang jendelaku, berharap bahwa sebentar lagi akan ada superhero yang akan menyelamatku dari kesendirianku. Salahku juga sih, sebenarnya. Aku sudah diajak jalan-jalan tapi aku menolak, beralasan kalau besok ada ulangan menantiku. Mereka percaya dan langsung pergi meninggalkanku BEGITU SAJA, sungguh tidak sopan.

Aku menatap langit-langit kamarku, berharap andai saja langit-langit tersebut terbuat dari kaca, transparan. Aku akan bisa menatap langit di atas sana, bukannya langit-langit yang membosankan ini. Bicara soal langit, aku menjadi penasaran dengan keadaannya di luar sana. Seperti dugaanku, langit pun sedang sendiri, sepi, sepertiku. Matahari pergi meninggalkannya, hanya tinggal awan kejam yang selalu berteriak marah, terdengar seperti petir di telingaku. Aku merasa kecil saat menatap mereka semua. Tanganku menggapai, tapi tak sampai. Angin menyeringai mencemooh. Aku kembali diam.

Aku menatap dinding kamarku. Hijau, seperti warna yang kupilih, seperti warna asrama orang yang kusuka. Aku membayangkan bagaimana jadinya jika langit berwarna hijau, bukan biru. Mungkin akan sedikit janggal, tapi cantik. Aku suka warna hijau.

Aku menatap bingkai-bingkai foto yang terpajang di kamarku. Foto ketika aku kecil sampai sekarang, keluargaku, dan teman-temanku. Semuanya memasang tampang ceria, tanpa menyadari bahwa suatu saat nanti mungkin mereka akan dipisahkan oleh waktu yang licik dan kematian yang begitu jahat. Aku tidak mau memikirkannya. Aku termenung, mataku tidak terfokus.

Dalam khayalanku, aku menjadi Snow White sekarang. Warna kulitku menjadi putih pucat. Rambutku tetap ikal bergelombang walau kali ini dipotong pendek. Aku memandang berkeliling. Ternyata aku berada di rumah para kurcaci yang mungil. Pantas saja terasa sedikit sesak berada di sini.

Masih dalam khayalanku, aku berjalan ke halaman rumah untuk menghirup udara segar. Ketika sedang berjalan-jalan, aku melihat sosok yang datang mendekat, menunggangi kuda. Aku berhenti berjalan, menunggu. Setelah sosok tersebut mendekat, tampaklah seorang pria tampan dengan busur di tangannya. Ia menunggangi seekor kuda putih yang cantik. Mata pria itu menemukanku, menatapku dengan pandangan yang tidak dapat dideskripsikan. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku. Wajahku merona, dan kuharap pria itu tidak mengetahuinya.
Pria itu memperkenalkan dirinya. Pangeran Nicholas, begitu ia menyebut dirinya, tapi cukup dipanggil Nicky saja. Sopan sekali, pikirku. Tentu saja karena ia adalah seorang pangeran.

Khayalanku tidak berakhir sampai situ saja. Hari terus berganti, bahkan bulan mulai menampakkan diri. Perempuan tua datang ke rumah para kurcaci, menawarkan sebuah apel yang terlihat begitu menggoda. Tapi aku menolak, ingat pada pesan para kurcaci bahwa jangan menerima apa pun dari siapa pun yang tidak kukenal. Perempuan itu memaksa. Karena aku iba padanya, aku memakan buah apel itu. Pening menguasai kepalaku. Aku tidak bisa menjaga kesadaranku. Semuanya hilang. Gelap.

Sepertinya aku berkhayal begitu jauh. Aku merasa ada sesuatu yang menyentuh bibirku, lembut dan hangat. Aku menyukainya. Penasaran, aku membuka kelopak mataku dan menemukan wajah Pangeran Nicholas yang begitu dekat dengan wajahku. Ia tersenyum lega. Aku mendengar para kurcaci bersorak. Memangnya apa yang terjadi sampai mereka segirang itu? Aku menatap berkeliling. Kenapa aku ditempatkan di peti mati ini? Ada-ada saja. Tidak peduli dengan apa yang terjadi, tidak peduli dengan fakta bahwa para kurcaci masih berada di sini dan pasti melihat apa yang kulakukan, aku keluar dari peti, menaruh kedua tanganku di pipi Nicky dengan lembut. Aku berjinjit, mendekatkan wajahku ke wajahnya. Aku ingin merasakannya sekali lagi. Nicky yang sudah mengerti apa yang ingin kulakukan, mengangkat tubuhku ke dalam dekapannya. Ia menundukkan wajahnya. Bibir kami bertemu untuk yang kedua kalinya. Kami berada dalam posisi itu dalam waktu beberapa menit, kemudian aku melepaskan diriku, berusaha menghirup banyak oksigen. Nicky tersenyum padaku lalu mengecup keningku.

Aku tersadar dari lamunanku. Ada orang yang baru saja mengecup keningku juga, dalam dunia nyata. Aku menoleh, berusaha mencari si pelaku. Ternyata ia adalah superhero-ku, mungkin masuk lewat jendela kamarku yang terbuka lebar. Aku menatapnya bingung. Ia menjelaskan semuanya.

"Sekarang kau boleh marah padaku."

"Kenapa aku harus marah padamu?"

"Aku mengecup keningmu."

"Oh, tidak apa-apa. Lupakan saja. Lagi pula aku tidak sadar kau mengecupku."

"Mau lagi?"

"Terima kasih, tapi nanti saja."

Aku menatap superhero-ku. Aku yakin ia pasti akan datang, bagaimana pun caranya. Aku yakin ia bisa menyelamatkanku dari kehampaanku. Aku yakin ia bisa mengiburku. Aku percaya sepenuhnya padanya.

The End.

Maaf ceritanya ngelantur dan terlalu pendek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar