Sabtu, 26 Desember 2009

Unforgetable Spring

Didedikasikan untuk classmate saya, Novi dan Ichsan.

Warning: A little bit out-of-character (OOC).

Pair : Mr (Ichsan) dan Mrs (Novi) Hermawan

Genre : General/Romance

Unforgetable Spring

Musim semi di bulan Mei tidak pernah membuatnya tidak bersemangat. Bunga-bunga lily putih bermekaran di “padang rumput” kesayangannya, tersenyum manis padanya ketika ia sedang duduk di rerumputan, menggoreskan pensilnya di buku gambar yang sedang dipegangnya, sesekali mendongak melahap habis semua pemandangan yang bisa dilihatnya untuk digambarnya lagi. Kupu-kupu terbang dengan anggun mengelilingi singgasana mahkota bunga mereka. Matahari bersinar sempurna menemaninya sebagai teman lama.

“Hai, Novi.”

Gadis itu merasa ada yang memanggil namanya dan mendongak. Seseorang berlari menghampirinya, lalu berdiri di sampingnya sambil terengah-engah, mencoba mengatur napasnya.

“Eh, hai, Ichsan.”

Novi tersenyum padanya, tapi matanya berkilat heran. Tidak biasanya Ichsan datang menghampirinya sampai berlari-lari seperti ini. Pasti ada sesuatu yang penting, pikirnya. Ia menunggu Ichsan yang sedang mengatur napasnya dengan sabar. Napas Ichsan sudah kembali normal dan ia duduk di samping Novi.

“Apa yang sedang kaulakukan di sini? Menyendiri pada pagi di musim semi yang menyenangkan ini?” tanya Ichsan berbasa-basi.

“Oh, aku hanya menggambar pemandangan di musim semi yang indah ini. Objek yang sangat bagus untuk digambar, kau tahu. Dan seharusnya akulah yang menanyakan hal itu, bukan kau.”

“Jadi?”

“Jadi ada perlu apa kau menghampiriku?”

“Apakah aku harus punya keperluan terlebih dulu agar bisa bertemu denganmu?” Ichsan balas bertanya. Novi tersenyum mendengar perkataannya dan kembali pada gambarnya.

Selama sesaat mereka tenggelam dalam keheningan. Keheningan yang menyenangkan dan menentramkan.

“Gambarmu itu... boleh kulihat?” pinta Ichsan. Novi tersenyum dan mengangguk. Ia menyodorkan buku gambarnya pada Ichsan.

Ichsan menunduk menatap gambar yang setengah jadi itu seraya ber-“wow” pelan. Gambar yang sangat cantik, secantik yang menggambarnya, batinnya. Ia tersenyum. Tangannya meraba garis-garis bunga lily yang digambar sangat menawan oleh gadis di sebelahnya. Menawan memang kata yang tepat. Ichsan tidak sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Novi. Novi memperhatikan rambut ikal Ichsan yang hitam kecokelatan. Garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang pekerja keras, sama seperti dirinya. Bibirnya kini melengkung ke atas membentuk seulas senyuman yang hangat, membuat wajahnya semakin tampan saja. Ya, Novi memang mengakui ketampanan pemuda di sebelahnya. Ia selalu mengaguminya sampai kapan pun.

Novi begitu terhanyut dalam lamunannya sehingga ia memekik kaget ketika Ichsan berkata pelan,

“Kau berbakat untuk menjadi seniman. Gambarmu ini bagus sekali, bahkan hampir terlihat seperti aslinya.” Ichsan menatap kagum Novi. Wajah Novi merona sewarna kelopak mawar, terlihat sangat manis di mata Ichsan. Novi terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

“Er—maukah kau menemaniku jalan-jalan di sekitar sini? Musim semi terlalu indah untuk dilewati begitu saja,” tawar Ichsan setelah beberapa lama mereka diam. Sesaat Novi bimbang, terjadi perang batin di dalam dirinya. Ichsan yang mulai tidak sabar melanjutkan, “Kalau kau tidak mau...”

“Aku mau, kok,” sela Novi cepat. Mukanya yang sudah merah tambah memerah saja. Ichsan nyengir lalu mengulurkan tangannya, membantu Novi berdiri. Mereka lalu berjalan bersama-sama seraya membicarakan hal-hal yang ringan seperti cuaca dan PR misalnya.

XXX

“Waktunya makan siang. Ayo kita kembali ke sekolah. Sekarang kantin pasti sudah penuh,” ajak Novi ketika mereka tengah beristirahat di bawah pohon. Ichsan mengangguk.

“Kau benar. Lagi pula aku sudah lapar sekarang.” Ichsan menyetujui. Mereka berjalan ke kantin bersama-sama.

Dugaan Novi ternyata benar, kantin memang sudah sangat penuh sekarang, sulit mencari tempat yang kosong untuk mereka duduki. Ichsan melihat temannya melambai dari kejauhan, menyuruhnya untuk duduk bersamanya. Ichsan mengajak Novi untuk menghampiri temannya itu.

Begitu sampai, banyak sekali anak yang “menyambut” mereka. Bersuit-suit, cekikikan, pandangan penuh arti, dan senyuman aneh dari muka anak-anak itu menyambut mereka. Ichsan mengernyit, sedangkan muka Novi memerah dan cepat-cepat melepaskan tangannya dari genggaman tangan Ichsan walaupun sebenarnya ia enggan. Mereka makan siang dalam diam.

XXX

Esok menjelang. Matahari menyingkirkan bulan sambil menatapnya jahil sedangkan bulan hanya cemberut tidak senang karena harus menghindari matahari. Sinar matahari menerobos masuk ke kamar Ichsan. Membuka matanya semilimeter, Ichsan menyentakkan tirai agak tertutup lalu kembali tidur.

“Hm... Novi... Sayang…” Ichsan mengigau dalam tidurnya. Ibunya yang hendak membangunkannya tersenyum menatap putra kebanggaannya itu.

“Icchan Sayang, sudah pagi. Ayo bangun dan segera mandi. Sarapanmu sudah siap di meja makan. Kalau tidak cepat-cepat nanti Novinya keburu pergi, loh. Kan Icchan sudah janji mau pergi bersama Novi hari ini.” Ibunya berkata lembut penuh kasih tapi tegas. Ichsan yang mendengar nama orang ia sayangi disebut-sebut langsung terbangun.

“Sekarang jam berapa, Ma? Apa aku terlambat?” tanya Ichsan cemas. Ia tidak mau mengecewakan Novi, tidak kali ini.

“Tidak, Sayang, setidaknya belum. Sekarang masih jam 5 pagi.”

“Oh syukurlah. Ya sudah sekarang aku mau mandi dulu.”

“Jangan lupa rapikan tempat tidurmu ya, Icchan.”

XXX

Hari berjalan begitu cepat, membuat semua orang lelah. Akhirnya tiba waktu pelajaran terakhir, Bahasa Inggris. Tidak ada yang terlalu menyukai pelajaran ini. Selain membosankan, pengajarnya juga jarang sekali masuk ke kelas, seperti sekarang ini. Kelas ribut. Dan hari hujan, yang merupakan hal yang tidak lazim terjadi di musim semi.

Novi menatap muram ke luar, ke lapangan basket. Awan menangis, merasa tersakiti entah kenapa, mungkin karena ulah manusia yang jahat padanya. Petir menggelegar, memberikan suasana yang suram dan mencekam. Angin bertiup dengan kencang, bagaikan sedang mengadakan lomba sprint bersama sesamanya. Air jatuh ke bumi, sesekali mengeluh karena terluka. Kilat menyambar, membuat kilasan cahaya yang menyilaukan. Semuanya terlihat begitu menakutkan.

Laras sang Ketua Murid membagi-bagikan tugas yang diberikan oleh guru besar Bahasa Inggris kami. Hanya segelintir orang saja yang mengerjakan tugas tersebut, yang lain terlalu malas untuk mengerjakan.

Dan semuanya terjadi begitu cepat.

Ada dua teman Novi yang berniat menjahilinya, Ilma dan Alwy. Ilma hanya mempunyai niat saja, tapi tidak jadi melakukannya. Temannya yang lain, Alwy, melihat hal tersebut lalu membantu teman Ilma untuk mendorong Novi. Novi terjatuh, lulutnya membentur sudut kursi. Ia merintih kesakitan, cepat-cepat duduk di kursi kosong di sebelah Ichsan sambil memijat-mijat lututnya yang sakit. Ilma dan Alwy memasang tampang bersalah dan berusaha untuk meminta maaf pada Novi. Ichsan terlihat sangat cemas. Ia mengetahui bahwa ada sedikit masalah dengan lutut Novi. Sekarang Novi tidak bisa berjalan dengan baik, bahkan berdiri dengan tegap saja ia tidak mampu. Novi nyaris terjatuh ke lantai ketika ia mencoba berdiri kalau saja Ichsan tidak menyelamatkannya.

“Kau… Aku akan mengantarkanmu ke Ruang BK.”

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja, kok.” Novi memaksakan dirinya untuk tersenyum. “Lagi pula ada tugas Bahasa Inggris, nanti aku tidak dapat nilai.”

“Tidak,” bantah Ichsan. Dari nadanya Novi tahu bahwa kata-kata Ichsan tidak bisa dibantah. “Kesehatan selalu menjadi nomor satu, Novi.”

“Tapi aku harus mengerjakan tugas ini. Kesehatan memang penting, tapi tugas jauh lebih penting.” Novi mengelak. Ia tidak mau merepotkan teman-temannya, apalagi Ichsan, teman spesialnya. Farah menatap Novi prihatin. Sebenarnya ia setuju dengan pendapat Ichsan, tapi melihat Novi yang begitu bersikeras ingin mengerjakan tugasnya, maka Farah mengambil sebuah keputusan yang cukup untuk membuat Novi menurut.

“Novi, kau pergi saja ke Ruang BK bersama Ichsan, jangan memaksakan diri. Tugas ini bisa kaukerjakan di Ruang BK,” usul Farah. Ichsan mengangguk setuju. Novi hanya pasrah dan ia bersedia dipapah oleh Ichsan ke Ruang BK. Menggunakan payung, tentu saja. Laras sudah mendapat pinjaman payung entah dari mana. Anak-anak yang menyaksikan mereka hanya bisa menggeleng, berdecak, bersuit, cekikikan, dan sebagainya. Bagaimana tidak? Mereka terlihat begitu mesra seperti sepasang pengantin yang baru saja menikah. Pemandangan seperti ini jarang mereka lihat, maka sebagian anak mengabadikan momen ini.

Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya Ichsan kembali ke ruang kelas. Semua—well,sebagian— anak memandangnya heran. Mereka mengira Ichsan akan tetap berada di Ruang BK untuk menemani Novi. Ada anak perempuan yang menyuarakan pikiran kami semua.

“Kenapa kau kembali ke sini? Seharusnya kau menemani Novi, tahu,” protes Mira.

“Pengurus BK menyuruhku untuk kembali ke kelas,” jawab Ichsan lesu. Mukanya tampak kusut, seolah sudah menghadapi banyak cobaan hidup. Ia sangat mengkhawatirkan Novi. Bagaimana kalau keadaan Novi tidak kunjung membaik? Bagaimana jika penyakit tersebut menyiksanya dalam rentang waktu yang cukup panjang? Ichsan menepiskan bayangan tersebut jauh-jauh. Ia tidak mau membayangkannya. Keselamatan Novi adalah hal yang terpenting sekarang.

Bel berbunyi nyaring selama tujuh kali, menandakan bahwa sekaranglah waktunya pulang. Ichsan membereskan barang-barangnya dengan cepat, lalu melesat pergi ke Ruang BK untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Novi.

Bergeming. Itulah yang dilakukan Ichsan ketika sampai di Ruang BK. Melihat keadaan Novi yang tidak jauh berbeda dengan tadi membuatnya mendadak lemas. Ia takut. Takut dengan apa yang mungkin menimpa teman spesialnya. Tidak lama kemudian ibunya Novi datang. Ichsan duduk menunggu di tangga dekat Ruang BK. Ia hanya menunduk sambil menautkan jari-jari panjangnya. Berdoa pada Tuhan Yang Maha Pengasih agar bersedia menyembuhkan Novi. Agar ia bisa bercakap-cakap dengan Novi. Agar ia bisa bersenda gurau dengannya. Agar ia bisa melihat wajah Novi ketika sedang merona. Agar ia bisa melihat sikap salah tingkah Novi saat berada di dekatnya. Agar ia bisa melihat semua hal tentang Novi.

Tanpa terasa air mata jatuh ke pipinya. Tidak bisa berhenti. Ichsan mengusap air matanya dengan kesal. Air mata? Apa-apaan ini? Aku laki-laki. Laki-laki tidak boleh menangis. Laki-laki harus kuat dan tegar menghadapi semuanya. Ichsan memarahi dirinya sendiri. Matanya memerah. Ia menutup mukanya dengan kedua tangannya, malu pada dirinya sendiri. Kalau saja aku bisa tahu apa yang akan terjadi, aku bisa mencegah kejadian ini, batinnya. Tapi ia tahu bahwa tidak mungkin manusia bisa mengetahui masa depan, apalagi dirinya. Maka Ichsan hanya duduk, menunggu dengan sabar. Menunggu sambil terus berharap agar kemungkinan terburuk tidak akan pernah terjadi.

XXX

Tidak bisa membohongi dirinya bahwa Novi akan masuk sekolah hari ini, Ichsan berjalan ke kelasnya dengan muram. Ia menatap langit. Suram. Mencerminkan perasaannya saat ini. Ia merasa kehilangan sesuatu, sebagian dirinya hilang begitu saja. Membuat dirinya tersiksa, membuat lubang yang begitu dalam di organ tubuhnya, sakit sekali. Ia tahu Novi tidak akan masuk sekolah hari ini, Novi sudah memberitahukan hal itu lewat ponsel. Tapi tetap saja.

Ichsan lebih banyak diam. Ia merasa tidak bergairah sama sekali. Hanya berbicara seperlunya saja. Ia memandang layar ponselnya setiap saat sambil menekan tombol keypad, sedang ber-SMS ria dengan Novi. Ia ingin tahu lebih banyak kabar tentangnya, tentang kesehatannya, tentang kegiatannya di rumah, semuanya. Ia juga mengutarakan pada Novi bahwa ia sangat rindu padanya. Padahal baru beberapa jam saja mereka tidak bertemu. Ichsan mencoba untuk menghibur diri dengan membaca komik, bersekolah, tertawa bersama teman-temannya… tapi ia tidak bisa berhenti memikirkannya.

XXX

Hari berganti. Hari ini sekolah mengadakan try-out untuk mengetahui kemampuan para siswa. Ichsan berharap Novi hadir untuk mengikuti try-out ini. Dan—TADA!—Novi benar-benar datang. Semangat Ichsan serasa membumbung kembali setelah melihat wajah Novi yang merona bersemangat. Semua teman-temannya mendadak terlihat lebih cantik dan tampan dari biasanya, seolah pesona yang Novi pancarkan mempengaruhi semuanya. Tapi alisnya berkerut ketika ia melihat perban di lutut Novi. Apa separah itu, ya? batinnya prihatin.

XXX

Hari terus bergulir sampai hari Rabu memperkenalkan dirinya. Ada yang ganjil di hari Rabu ini: Ichsan dan Novi tidak saling bicara! Mereka terus bungkam. Jika tanpa sengaja tatapan mereka bertemu, keduanya langsung membuang muka. Banyak anak yang mengernyit heran ketika melihat tingkah mereka. Apa mereka bermusuhan?

Selama seharian itu mereka terus diam, saling melemparkan tatapan dingin, tidak suka. Berpura-pura sangat ceria ketika sedang bercakap-cakap dengan teman mereka, terbahak mendengar lelucon mereka. Agak berlebihan sebenarnya. Sampai pada waktu istirahat, Ichsan, Novi, Asri, dan Mira merencanakan untuk melakukan perbaikan nilai ulangan Matematika. Mereka semua setuju dan sepakat untuk beribadah dulu sebelum melakukan perbaikan. Setelah beribadah, mereka cepat-cepat menghampiri guru Matematika mereka di ruang guru. Mengadakan perundingan dengannya, akhirnya diputuskan bahwa perbaikan dilakukan besok saja berhubung waktunya hanya tinggal 30 menit lagi. Kejadian setelahnya tidak perlu diceritakan lagi, dan Novi berlari meninggalkan Ichsan.

Farah, sahabat terkarib Novi, akhirnya merasa tidak tahan dengan sikap mereka berdua. Ia bertanya pada Ichsan kenapa ia bersikap seperti itu pada Novi. Mereka saling menjelaskan apa yang terjadi. Akhirnya disimpulkan bahwa memang terjadi kesalah pahaman di antara mereka. Ichsan tersenyum pada Novi dan meminta maaf atas sikapnya seharian ini. Novi memaafkannya dan ia juga meminta maaf pada laki-laki tinggi di depannya itu. Mereka berdua berdamai dan semua anak bersorak. Alwy menyanyikan lagu “Terima Kasih Cinta”, berduet dengan Laras.

XXX

Sepulang sekolah, Ichsan menyuruh Novi untuk menemuinya di “padang rumput”. Laras yang mendengar hal ini tidak tahan untuk tidak mengajak teman-temannya memata-matai mereka. Novi mengangguk menandakan ia setuju menemui Ichsan. Ichsan tampak puas.

Novi duduk menunggu di bawah pohon willow. Musim semi sudah hampir berakhir. Ia senang sekali akhirnya ia bisa berbaikan dengan Ichsan. Sungguh tidak menyenangkan jika kau harus bermusuhan dengan orang yang sangat kausayangi. Ia memandangi taman yang terasa sepuluh kali lipat lebih indah, tempat ia bertemu dengan Ichsan beberapa hari yang lalu, saat ia sedang menggambar indahnya “padang rumput” ini di musim semi. Bunga-bunga lily mengenalinya lalu melambaikan tangannya ramah. Pohon willow di dekatnya berdeham, sepertinya tahu apa yang tengah ditunggu-tunggu oleh Novi. Angin mengacak-acak rambutnya, tapi ia hanya tertawa kecil.

“Hai, Novi. Sudah lama?”

Terdengar suara Ichsan di belakangnya. Novi menoleh dan ia mendapati Ichsan sedang memegang bahunya. Ini terasa bagai déjà vu bagi Novi. Ia tersenyum pada Ichsan.

“Maafkan aku, Novi.”

Alis Novi mengernyit bingung. “Memangnya kau salah apa padaku?”

“Segalanya. Saat aku memusuhimu tanpa alasan yang jelas. Saat aku membiarkan lututmu terluka. Maaf.” Tanpa terasa bulir-bulir air mata jatuh ke pipi Ichsan.

“Oh sudahlah.” Novi menepuk punggung Ichsan pelan. “Lagi pula aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tidak apa-apa.” Ia menghapus air mata Ichsan dengan jemarinya.

“Terima kasih.”

“Nah, sekarang jangan menangis lagi ya. Aku tidak suka melihatmu bersedih.”

“Kenapa?”

“Itu membuatku ingin menangis juga, menatapmu yang terlihat begitu terluka. Makanya berhentilah menangis, Icchan.” Novi tersenyum hangat, senyum yang sangat Ichsan rindukan.

“Maafkan aku. Aku begitu cengeng.”

“Tidak apa-apa.”

Mereka terdiam. Menikmati keberadaan satu sama lain di antara mereka. Melepas rindu dalam diam. Diam yang begitu berarti, setidaknya untuk mereka berdua.

Di balik semak-semak…

“Oh, mereka begitu romantis,” bisik Laras.

“Ya. Aku senang melihat mereka berdua tampak begitu bahagia,” tambah Farah.

“Aku harus mengabadikan momen ini!” jerit Indah. Semua anak yang mengintip langsung berdesis menyuruh diam. “Ups.” Indah membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.

It’s so unbelievable. And I don’t want to let it go…” Itu suara Ilma. Semua anak yang ada di sana langsung membekap mulut Ilma. Bahkan Iching sudah mulai muntah-muntah.

“Kalian semua diamlah. Nanti suara Novi dan Ichsan tidak kedengaran,” kata Asri menengahi. Mereka semua terdiam dengan pandangan tertuju pada Novi dan Ichsan.

Mereka masih terdiam. Tapi tidak lama sesudahnya Ichsan memecahkan keheningan yang menenangkan ini.

“Omong-omong, dari mana kau tahu nama kecilku?”

Novi tertawa kecil. “Ibumu memberitahu banyak hal tentangmu padaku.” Muka Ichsan memerah.

“Berapa banyak yang kau tahu?”

“Semuanya.”

Diam lagi.

Mata mereka bertemu. Di mata Novi, Ichsan tampak sangat gagah dan tampan, seperti seorang pangeran di cerita anak-anak, meskipun matanya sedikit sembap akibat menangis. Di mata Ichsan, Novi terlihat begitu manis, bak seorang putri yang memang ditakdirkan untuk hidup bersamanya. Rambut hitam lurusnya membingkai wajahnya yang kini memancarkan kebahagiaan. Ichsan memberanikan diri untuk menggenggam tangan Novi lembut. Seulas senyum terbentuk di bibir Novi.

“Aku menyayangimu.”

Hati Ichsan serasa menggelembung ketika mendengar dua kata sederhana itu terlontar dari mulut Novi dengan nada yang tulus. Ini akan menjadi musim semi yang tak terlupakan baginya. Ia tersenyum bahagia, membayangkan bahwa gadis di hadapannya sekarang ini memakai gaun berwarna cokelat muda yang cantik. Tanpa riasan yang berlebihan, tampak begitu sederhana tapi anggun. Ichsan menatap mata Novi dalam-dalam, matanya berkilat serius, tapi ada nada jahil dalam suaranya.

“Apa itu berarti kau bersedia menjadi Nyonya Hermawan?”

Tamat

A/N:

Akhirnya cerita ini selesai juga. Maaf ceritanya ga jelas. Bahasanya baku, ya? Soalnya cerita ini genre-nya Romance, jadi baku deh. Oh iya Ichsan sama Novinya OOC di sini. Ga apa-apa lah ya? Namanya juga cerita.

Bersedia ngasih komentar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar