Sabtu, 26 Desember 2009

Unforgetable Spring

Didedikasikan untuk classmate saya, Novi dan Ichsan.

Warning: A little bit out-of-character (OOC).

Pair : Mr (Ichsan) dan Mrs (Novi) Hermawan

Genre : General/Romance

Unforgetable Spring

Musim semi di bulan Mei tidak pernah membuatnya tidak bersemangat. Bunga-bunga lily putih bermekaran di “padang rumput” kesayangannya, tersenyum manis padanya ketika ia sedang duduk di rerumputan, menggoreskan pensilnya di buku gambar yang sedang dipegangnya, sesekali mendongak melahap habis semua pemandangan yang bisa dilihatnya untuk digambarnya lagi. Kupu-kupu terbang dengan anggun mengelilingi singgasana mahkota bunga mereka. Matahari bersinar sempurna menemaninya sebagai teman lama.

“Hai, Novi.”

Gadis itu merasa ada yang memanggil namanya dan mendongak. Seseorang berlari menghampirinya, lalu berdiri di sampingnya sambil terengah-engah, mencoba mengatur napasnya.

“Eh, hai, Ichsan.”

Novi tersenyum padanya, tapi matanya berkilat heran. Tidak biasanya Ichsan datang menghampirinya sampai berlari-lari seperti ini. Pasti ada sesuatu yang penting, pikirnya. Ia menunggu Ichsan yang sedang mengatur napasnya dengan sabar. Napas Ichsan sudah kembali normal dan ia duduk di samping Novi.

“Apa yang sedang kaulakukan di sini? Menyendiri pada pagi di musim semi yang menyenangkan ini?” tanya Ichsan berbasa-basi.

“Oh, aku hanya menggambar pemandangan di musim semi yang indah ini. Objek yang sangat bagus untuk digambar, kau tahu. Dan seharusnya akulah yang menanyakan hal itu, bukan kau.”

“Jadi?”

“Jadi ada perlu apa kau menghampiriku?”

“Apakah aku harus punya keperluan terlebih dulu agar bisa bertemu denganmu?” Ichsan balas bertanya. Novi tersenyum mendengar perkataannya dan kembali pada gambarnya.

Selama sesaat mereka tenggelam dalam keheningan. Keheningan yang menyenangkan dan menentramkan.

“Gambarmu itu... boleh kulihat?” pinta Ichsan. Novi tersenyum dan mengangguk. Ia menyodorkan buku gambarnya pada Ichsan.

Ichsan menunduk menatap gambar yang setengah jadi itu seraya ber-“wow” pelan. Gambar yang sangat cantik, secantik yang menggambarnya, batinnya. Ia tersenyum. Tangannya meraba garis-garis bunga lily yang digambar sangat menawan oleh gadis di sebelahnya. Menawan memang kata yang tepat. Ichsan tidak sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Novi. Novi memperhatikan rambut ikal Ichsan yang hitam kecokelatan. Garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang pekerja keras, sama seperti dirinya. Bibirnya kini melengkung ke atas membentuk seulas senyuman yang hangat, membuat wajahnya semakin tampan saja. Ya, Novi memang mengakui ketampanan pemuda di sebelahnya. Ia selalu mengaguminya sampai kapan pun.

Novi begitu terhanyut dalam lamunannya sehingga ia memekik kaget ketika Ichsan berkata pelan,

“Kau berbakat untuk menjadi seniman. Gambarmu ini bagus sekali, bahkan hampir terlihat seperti aslinya.” Ichsan menatap kagum Novi. Wajah Novi merona sewarna kelopak mawar, terlihat sangat manis di mata Ichsan. Novi terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

“Er—maukah kau menemaniku jalan-jalan di sekitar sini? Musim semi terlalu indah untuk dilewati begitu saja,” tawar Ichsan setelah beberapa lama mereka diam. Sesaat Novi bimbang, terjadi perang batin di dalam dirinya. Ichsan yang mulai tidak sabar melanjutkan, “Kalau kau tidak mau...”

“Aku mau, kok,” sela Novi cepat. Mukanya yang sudah merah tambah memerah saja. Ichsan nyengir lalu mengulurkan tangannya, membantu Novi berdiri. Mereka lalu berjalan bersama-sama seraya membicarakan hal-hal yang ringan seperti cuaca dan PR misalnya.

XXX

“Waktunya makan siang. Ayo kita kembali ke sekolah. Sekarang kantin pasti sudah penuh,” ajak Novi ketika mereka tengah beristirahat di bawah pohon. Ichsan mengangguk.

“Kau benar. Lagi pula aku sudah lapar sekarang.” Ichsan menyetujui. Mereka berjalan ke kantin bersama-sama.

Dugaan Novi ternyata benar, kantin memang sudah sangat penuh sekarang, sulit mencari tempat yang kosong untuk mereka duduki. Ichsan melihat temannya melambai dari kejauhan, menyuruhnya untuk duduk bersamanya. Ichsan mengajak Novi untuk menghampiri temannya itu.

Begitu sampai, banyak sekali anak yang “menyambut” mereka. Bersuit-suit, cekikikan, pandangan penuh arti, dan senyuman aneh dari muka anak-anak itu menyambut mereka. Ichsan mengernyit, sedangkan muka Novi memerah dan cepat-cepat melepaskan tangannya dari genggaman tangan Ichsan walaupun sebenarnya ia enggan. Mereka makan siang dalam diam.

XXX

Esok menjelang. Matahari menyingkirkan bulan sambil menatapnya jahil sedangkan bulan hanya cemberut tidak senang karena harus menghindari matahari. Sinar matahari menerobos masuk ke kamar Ichsan. Membuka matanya semilimeter, Ichsan menyentakkan tirai agak tertutup lalu kembali tidur.

“Hm... Novi... Sayang…” Ichsan mengigau dalam tidurnya. Ibunya yang hendak membangunkannya tersenyum menatap putra kebanggaannya itu.

“Icchan Sayang, sudah pagi. Ayo bangun dan segera mandi. Sarapanmu sudah siap di meja makan. Kalau tidak cepat-cepat nanti Novinya keburu pergi, loh. Kan Icchan sudah janji mau pergi bersama Novi hari ini.” Ibunya berkata lembut penuh kasih tapi tegas. Ichsan yang mendengar nama orang ia sayangi disebut-sebut langsung terbangun.

“Sekarang jam berapa, Ma? Apa aku terlambat?” tanya Ichsan cemas. Ia tidak mau mengecewakan Novi, tidak kali ini.

“Tidak, Sayang, setidaknya belum. Sekarang masih jam 5 pagi.”

“Oh syukurlah. Ya sudah sekarang aku mau mandi dulu.”

“Jangan lupa rapikan tempat tidurmu ya, Icchan.”

XXX

Hari berjalan begitu cepat, membuat semua orang lelah. Akhirnya tiba waktu pelajaran terakhir, Bahasa Inggris. Tidak ada yang terlalu menyukai pelajaran ini. Selain membosankan, pengajarnya juga jarang sekali masuk ke kelas, seperti sekarang ini. Kelas ribut. Dan hari hujan, yang merupakan hal yang tidak lazim terjadi di musim semi.

Novi menatap muram ke luar, ke lapangan basket. Awan menangis, merasa tersakiti entah kenapa, mungkin karena ulah manusia yang jahat padanya. Petir menggelegar, memberikan suasana yang suram dan mencekam. Angin bertiup dengan kencang, bagaikan sedang mengadakan lomba sprint bersama sesamanya. Air jatuh ke bumi, sesekali mengeluh karena terluka. Kilat menyambar, membuat kilasan cahaya yang menyilaukan. Semuanya terlihat begitu menakutkan.

Laras sang Ketua Murid membagi-bagikan tugas yang diberikan oleh guru besar Bahasa Inggris kami. Hanya segelintir orang saja yang mengerjakan tugas tersebut, yang lain terlalu malas untuk mengerjakan.

Dan semuanya terjadi begitu cepat.

Ada dua teman Novi yang berniat menjahilinya, Ilma dan Alwy. Ilma hanya mempunyai niat saja, tapi tidak jadi melakukannya. Temannya yang lain, Alwy, melihat hal tersebut lalu membantu teman Ilma untuk mendorong Novi. Novi terjatuh, lulutnya membentur sudut kursi. Ia merintih kesakitan, cepat-cepat duduk di kursi kosong di sebelah Ichsan sambil memijat-mijat lututnya yang sakit. Ilma dan Alwy memasang tampang bersalah dan berusaha untuk meminta maaf pada Novi. Ichsan terlihat sangat cemas. Ia mengetahui bahwa ada sedikit masalah dengan lutut Novi. Sekarang Novi tidak bisa berjalan dengan baik, bahkan berdiri dengan tegap saja ia tidak mampu. Novi nyaris terjatuh ke lantai ketika ia mencoba berdiri kalau saja Ichsan tidak menyelamatkannya.

“Kau… Aku akan mengantarkanmu ke Ruang BK.”

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja, kok.” Novi memaksakan dirinya untuk tersenyum. “Lagi pula ada tugas Bahasa Inggris, nanti aku tidak dapat nilai.”

“Tidak,” bantah Ichsan. Dari nadanya Novi tahu bahwa kata-kata Ichsan tidak bisa dibantah. “Kesehatan selalu menjadi nomor satu, Novi.”

“Tapi aku harus mengerjakan tugas ini. Kesehatan memang penting, tapi tugas jauh lebih penting.” Novi mengelak. Ia tidak mau merepotkan teman-temannya, apalagi Ichsan, teman spesialnya. Farah menatap Novi prihatin. Sebenarnya ia setuju dengan pendapat Ichsan, tapi melihat Novi yang begitu bersikeras ingin mengerjakan tugasnya, maka Farah mengambil sebuah keputusan yang cukup untuk membuat Novi menurut.

“Novi, kau pergi saja ke Ruang BK bersama Ichsan, jangan memaksakan diri. Tugas ini bisa kaukerjakan di Ruang BK,” usul Farah. Ichsan mengangguk setuju. Novi hanya pasrah dan ia bersedia dipapah oleh Ichsan ke Ruang BK. Menggunakan payung, tentu saja. Laras sudah mendapat pinjaman payung entah dari mana. Anak-anak yang menyaksikan mereka hanya bisa menggeleng, berdecak, bersuit, cekikikan, dan sebagainya. Bagaimana tidak? Mereka terlihat begitu mesra seperti sepasang pengantin yang baru saja menikah. Pemandangan seperti ini jarang mereka lihat, maka sebagian anak mengabadikan momen ini.

Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya Ichsan kembali ke ruang kelas. Semua—well,sebagian— anak memandangnya heran. Mereka mengira Ichsan akan tetap berada di Ruang BK untuk menemani Novi. Ada anak perempuan yang menyuarakan pikiran kami semua.

“Kenapa kau kembali ke sini? Seharusnya kau menemani Novi, tahu,” protes Mira.

“Pengurus BK menyuruhku untuk kembali ke kelas,” jawab Ichsan lesu. Mukanya tampak kusut, seolah sudah menghadapi banyak cobaan hidup. Ia sangat mengkhawatirkan Novi. Bagaimana kalau keadaan Novi tidak kunjung membaik? Bagaimana jika penyakit tersebut menyiksanya dalam rentang waktu yang cukup panjang? Ichsan menepiskan bayangan tersebut jauh-jauh. Ia tidak mau membayangkannya. Keselamatan Novi adalah hal yang terpenting sekarang.

Bel berbunyi nyaring selama tujuh kali, menandakan bahwa sekaranglah waktunya pulang. Ichsan membereskan barang-barangnya dengan cepat, lalu melesat pergi ke Ruang BK untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Novi.

Bergeming. Itulah yang dilakukan Ichsan ketika sampai di Ruang BK. Melihat keadaan Novi yang tidak jauh berbeda dengan tadi membuatnya mendadak lemas. Ia takut. Takut dengan apa yang mungkin menimpa teman spesialnya. Tidak lama kemudian ibunya Novi datang. Ichsan duduk menunggu di tangga dekat Ruang BK. Ia hanya menunduk sambil menautkan jari-jari panjangnya. Berdoa pada Tuhan Yang Maha Pengasih agar bersedia menyembuhkan Novi. Agar ia bisa bercakap-cakap dengan Novi. Agar ia bisa bersenda gurau dengannya. Agar ia bisa melihat wajah Novi ketika sedang merona. Agar ia bisa melihat sikap salah tingkah Novi saat berada di dekatnya. Agar ia bisa melihat semua hal tentang Novi.

Tanpa terasa air mata jatuh ke pipinya. Tidak bisa berhenti. Ichsan mengusap air matanya dengan kesal. Air mata? Apa-apaan ini? Aku laki-laki. Laki-laki tidak boleh menangis. Laki-laki harus kuat dan tegar menghadapi semuanya. Ichsan memarahi dirinya sendiri. Matanya memerah. Ia menutup mukanya dengan kedua tangannya, malu pada dirinya sendiri. Kalau saja aku bisa tahu apa yang akan terjadi, aku bisa mencegah kejadian ini, batinnya. Tapi ia tahu bahwa tidak mungkin manusia bisa mengetahui masa depan, apalagi dirinya. Maka Ichsan hanya duduk, menunggu dengan sabar. Menunggu sambil terus berharap agar kemungkinan terburuk tidak akan pernah terjadi.

XXX

Tidak bisa membohongi dirinya bahwa Novi akan masuk sekolah hari ini, Ichsan berjalan ke kelasnya dengan muram. Ia menatap langit. Suram. Mencerminkan perasaannya saat ini. Ia merasa kehilangan sesuatu, sebagian dirinya hilang begitu saja. Membuat dirinya tersiksa, membuat lubang yang begitu dalam di organ tubuhnya, sakit sekali. Ia tahu Novi tidak akan masuk sekolah hari ini, Novi sudah memberitahukan hal itu lewat ponsel. Tapi tetap saja.

Ichsan lebih banyak diam. Ia merasa tidak bergairah sama sekali. Hanya berbicara seperlunya saja. Ia memandang layar ponselnya setiap saat sambil menekan tombol keypad, sedang ber-SMS ria dengan Novi. Ia ingin tahu lebih banyak kabar tentangnya, tentang kesehatannya, tentang kegiatannya di rumah, semuanya. Ia juga mengutarakan pada Novi bahwa ia sangat rindu padanya. Padahal baru beberapa jam saja mereka tidak bertemu. Ichsan mencoba untuk menghibur diri dengan membaca komik, bersekolah, tertawa bersama teman-temannya… tapi ia tidak bisa berhenti memikirkannya.

XXX

Hari berganti. Hari ini sekolah mengadakan try-out untuk mengetahui kemampuan para siswa. Ichsan berharap Novi hadir untuk mengikuti try-out ini. Dan—TADA!—Novi benar-benar datang. Semangat Ichsan serasa membumbung kembali setelah melihat wajah Novi yang merona bersemangat. Semua teman-temannya mendadak terlihat lebih cantik dan tampan dari biasanya, seolah pesona yang Novi pancarkan mempengaruhi semuanya. Tapi alisnya berkerut ketika ia melihat perban di lutut Novi. Apa separah itu, ya? batinnya prihatin.

XXX

Hari terus bergulir sampai hari Rabu memperkenalkan dirinya. Ada yang ganjil di hari Rabu ini: Ichsan dan Novi tidak saling bicara! Mereka terus bungkam. Jika tanpa sengaja tatapan mereka bertemu, keduanya langsung membuang muka. Banyak anak yang mengernyit heran ketika melihat tingkah mereka. Apa mereka bermusuhan?

Selama seharian itu mereka terus diam, saling melemparkan tatapan dingin, tidak suka. Berpura-pura sangat ceria ketika sedang bercakap-cakap dengan teman mereka, terbahak mendengar lelucon mereka. Agak berlebihan sebenarnya. Sampai pada waktu istirahat, Ichsan, Novi, Asri, dan Mira merencanakan untuk melakukan perbaikan nilai ulangan Matematika. Mereka semua setuju dan sepakat untuk beribadah dulu sebelum melakukan perbaikan. Setelah beribadah, mereka cepat-cepat menghampiri guru Matematika mereka di ruang guru. Mengadakan perundingan dengannya, akhirnya diputuskan bahwa perbaikan dilakukan besok saja berhubung waktunya hanya tinggal 30 menit lagi. Kejadian setelahnya tidak perlu diceritakan lagi, dan Novi berlari meninggalkan Ichsan.

Farah, sahabat terkarib Novi, akhirnya merasa tidak tahan dengan sikap mereka berdua. Ia bertanya pada Ichsan kenapa ia bersikap seperti itu pada Novi. Mereka saling menjelaskan apa yang terjadi. Akhirnya disimpulkan bahwa memang terjadi kesalah pahaman di antara mereka. Ichsan tersenyum pada Novi dan meminta maaf atas sikapnya seharian ini. Novi memaafkannya dan ia juga meminta maaf pada laki-laki tinggi di depannya itu. Mereka berdua berdamai dan semua anak bersorak. Alwy menyanyikan lagu “Terima Kasih Cinta”, berduet dengan Laras.

XXX

Sepulang sekolah, Ichsan menyuruh Novi untuk menemuinya di “padang rumput”. Laras yang mendengar hal ini tidak tahan untuk tidak mengajak teman-temannya memata-matai mereka. Novi mengangguk menandakan ia setuju menemui Ichsan. Ichsan tampak puas.

Novi duduk menunggu di bawah pohon willow. Musim semi sudah hampir berakhir. Ia senang sekali akhirnya ia bisa berbaikan dengan Ichsan. Sungguh tidak menyenangkan jika kau harus bermusuhan dengan orang yang sangat kausayangi. Ia memandangi taman yang terasa sepuluh kali lipat lebih indah, tempat ia bertemu dengan Ichsan beberapa hari yang lalu, saat ia sedang menggambar indahnya “padang rumput” ini di musim semi. Bunga-bunga lily mengenalinya lalu melambaikan tangannya ramah. Pohon willow di dekatnya berdeham, sepertinya tahu apa yang tengah ditunggu-tunggu oleh Novi. Angin mengacak-acak rambutnya, tapi ia hanya tertawa kecil.

“Hai, Novi. Sudah lama?”

Terdengar suara Ichsan di belakangnya. Novi menoleh dan ia mendapati Ichsan sedang memegang bahunya. Ini terasa bagai déjà vu bagi Novi. Ia tersenyum pada Ichsan.

“Maafkan aku, Novi.”

Alis Novi mengernyit bingung. “Memangnya kau salah apa padaku?”

“Segalanya. Saat aku memusuhimu tanpa alasan yang jelas. Saat aku membiarkan lututmu terluka. Maaf.” Tanpa terasa bulir-bulir air mata jatuh ke pipi Ichsan.

“Oh sudahlah.” Novi menepuk punggung Ichsan pelan. “Lagi pula aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tidak apa-apa.” Ia menghapus air mata Ichsan dengan jemarinya.

“Terima kasih.”

“Nah, sekarang jangan menangis lagi ya. Aku tidak suka melihatmu bersedih.”

“Kenapa?”

“Itu membuatku ingin menangis juga, menatapmu yang terlihat begitu terluka. Makanya berhentilah menangis, Icchan.” Novi tersenyum hangat, senyum yang sangat Ichsan rindukan.

“Maafkan aku. Aku begitu cengeng.”

“Tidak apa-apa.”

Mereka terdiam. Menikmati keberadaan satu sama lain di antara mereka. Melepas rindu dalam diam. Diam yang begitu berarti, setidaknya untuk mereka berdua.

Di balik semak-semak…

“Oh, mereka begitu romantis,” bisik Laras.

“Ya. Aku senang melihat mereka berdua tampak begitu bahagia,” tambah Farah.

“Aku harus mengabadikan momen ini!” jerit Indah. Semua anak yang mengintip langsung berdesis menyuruh diam. “Ups.” Indah membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.

It’s so unbelievable. And I don’t want to let it go…” Itu suara Ilma. Semua anak yang ada di sana langsung membekap mulut Ilma. Bahkan Iching sudah mulai muntah-muntah.

“Kalian semua diamlah. Nanti suara Novi dan Ichsan tidak kedengaran,” kata Asri menengahi. Mereka semua terdiam dengan pandangan tertuju pada Novi dan Ichsan.

Mereka masih terdiam. Tapi tidak lama sesudahnya Ichsan memecahkan keheningan yang menenangkan ini.

“Omong-omong, dari mana kau tahu nama kecilku?”

Novi tertawa kecil. “Ibumu memberitahu banyak hal tentangmu padaku.” Muka Ichsan memerah.

“Berapa banyak yang kau tahu?”

“Semuanya.”

Diam lagi.

Mata mereka bertemu. Di mata Novi, Ichsan tampak sangat gagah dan tampan, seperti seorang pangeran di cerita anak-anak, meskipun matanya sedikit sembap akibat menangis. Di mata Ichsan, Novi terlihat begitu manis, bak seorang putri yang memang ditakdirkan untuk hidup bersamanya. Rambut hitam lurusnya membingkai wajahnya yang kini memancarkan kebahagiaan. Ichsan memberanikan diri untuk menggenggam tangan Novi lembut. Seulas senyum terbentuk di bibir Novi.

“Aku menyayangimu.”

Hati Ichsan serasa menggelembung ketika mendengar dua kata sederhana itu terlontar dari mulut Novi dengan nada yang tulus. Ini akan menjadi musim semi yang tak terlupakan baginya. Ia tersenyum bahagia, membayangkan bahwa gadis di hadapannya sekarang ini memakai gaun berwarna cokelat muda yang cantik. Tanpa riasan yang berlebihan, tampak begitu sederhana tapi anggun. Ichsan menatap mata Novi dalam-dalam, matanya berkilat serius, tapi ada nada jahil dalam suaranya.

“Apa itu berarti kau bersedia menjadi Nyonya Hermawan?”

Tamat

A/N:

Akhirnya cerita ini selesai juga. Maaf ceritanya ga jelas. Bahasanya baku, ya? Soalnya cerita ini genre-nya Romance, jadi baku deh. Oh iya Ichsan sama Novinya OOC di sini. Ga apa-apa lah ya? Namanya juga cerita.

Bersedia ngasih komentar?

Sendiri

Sendiri

Di sinilah aku, di dalam kamarku, terbaring sendiri di atas ranjangku, melewati hari yang bagai tak berujung. Kesepian. Aku merasakannya sekarang. Hanya ada aku dan pembantu menyebalkan di rumahku. Aku memandang jendelaku, berharap bahwa sebentar lagi akan ada superhero yang akan menyelamatku dari kesendirianku. Salahku juga sih, sebenarnya. Aku sudah diajak jalan-jalan tapi aku menolak, beralasan kalau besok ada ulangan menantiku. Mereka percaya dan langsung pergi meninggalkanku BEGITU SAJA, sungguh tidak sopan.

Aku menatap langit-langit kamarku, berharap andai saja langit-langit tersebut terbuat dari kaca, transparan. Aku akan bisa menatap langit di atas sana, bukannya langit-langit yang membosankan ini. Bicara soal langit, aku menjadi penasaran dengan keadaannya di luar sana. Seperti dugaanku, langit pun sedang sendiri, sepi, sepertiku. Matahari pergi meninggalkannya, hanya tinggal awan kejam yang selalu berteriak marah, terdengar seperti petir di telingaku. Aku merasa kecil saat menatap mereka semua. Tanganku menggapai, tapi tak sampai. Angin menyeringai mencemooh. Aku kembali diam.

Aku menatap dinding kamarku. Hijau, seperti warna yang kupilih, seperti warna asrama orang yang kusuka. Aku membayangkan bagaimana jadinya jika langit berwarna hijau, bukan biru. Mungkin akan sedikit janggal, tapi cantik. Aku suka warna hijau.

Aku menatap bingkai-bingkai foto yang terpajang di kamarku. Foto ketika aku kecil sampai sekarang, keluargaku, dan teman-temanku. Semuanya memasang tampang ceria, tanpa menyadari bahwa suatu saat nanti mungkin mereka akan dipisahkan oleh waktu yang licik dan kematian yang begitu jahat. Aku tidak mau memikirkannya. Aku termenung, mataku tidak terfokus.

Dalam khayalanku, aku menjadi Snow White sekarang. Warna kulitku menjadi putih pucat. Rambutku tetap ikal bergelombang walau kali ini dipotong pendek. Aku memandang berkeliling. Ternyata aku berada di rumah para kurcaci yang mungil. Pantas saja terasa sedikit sesak berada di sini.

Masih dalam khayalanku, aku berjalan ke halaman rumah untuk menghirup udara segar. Ketika sedang berjalan-jalan, aku melihat sosok yang datang mendekat, menunggangi kuda. Aku berhenti berjalan, menunggu. Setelah sosok tersebut mendekat, tampaklah seorang pria tampan dengan busur di tangannya. Ia menunggangi seekor kuda putih yang cantik. Mata pria itu menemukanku, menatapku dengan pandangan yang tidak dapat dideskripsikan. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku. Wajahku merona, dan kuharap pria itu tidak mengetahuinya.
Pria itu memperkenalkan dirinya. Pangeran Nicholas, begitu ia menyebut dirinya, tapi cukup dipanggil Nicky saja. Sopan sekali, pikirku. Tentu saja karena ia adalah seorang pangeran.

Khayalanku tidak berakhir sampai situ saja. Hari terus berganti, bahkan bulan mulai menampakkan diri. Perempuan tua datang ke rumah para kurcaci, menawarkan sebuah apel yang terlihat begitu menggoda. Tapi aku menolak, ingat pada pesan para kurcaci bahwa jangan menerima apa pun dari siapa pun yang tidak kukenal. Perempuan itu memaksa. Karena aku iba padanya, aku memakan buah apel itu. Pening menguasai kepalaku. Aku tidak bisa menjaga kesadaranku. Semuanya hilang. Gelap.

Sepertinya aku berkhayal begitu jauh. Aku merasa ada sesuatu yang menyentuh bibirku, lembut dan hangat. Aku menyukainya. Penasaran, aku membuka kelopak mataku dan menemukan wajah Pangeran Nicholas yang begitu dekat dengan wajahku. Ia tersenyum lega. Aku mendengar para kurcaci bersorak. Memangnya apa yang terjadi sampai mereka segirang itu? Aku menatap berkeliling. Kenapa aku ditempatkan di peti mati ini? Ada-ada saja. Tidak peduli dengan apa yang terjadi, tidak peduli dengan fakta bahwa para kurcaci masih berada di sini dan pasti melihat apa yang kulakukan, aku keluar dari peti, menaruh kedua tanganku di pipi Nicky dengan lembut. Aku berjinjit, mendekatkan wajahku ke wajahnya. Aku ingin merasakannya sekali lagi. Nicky yang sudah mengerti apa yang ingin kulakukan, mengangkat tubuhku ke dalam dekapannya. Ia menundukkan wajahnya. Bibir kami bertemu untuk yang kedua kalinya. Kami berada dalam posisi itu dalam waktu beberapa menit, kemudian aku melepaskan diriku, berusaha menghirup banyak oksigen. Nicky tersenyum padaku lalu mengecup keningku.

Aku tersadar dari lamunanku. Ada orang yang baru saja mengecup keningku juga, dalam dunia nyata. Aku menoleh, berusaha mencari si pelaku. Ternyata ia adalah superhero-ku, mungkin masuk lewat jendela kamarku yang terbuka lebar. Aku menatapnya bingung. Ia menjelaskan semuanya.

"Sekarang kau boleh marah padaku."

"Kenapa aku harus marah padamu?"

"Aku mengecup keningmu."

"Oh, tidak apa-apa. Lupakan saja. Lagi pula aku tidak sadar kau mengecupku."

"Mau lagi?"

"Terima kasih, tapi nanti saja."

Aku menatap superhero-ku. Aku yakin ia pasti akan datang, bagaimana pun caranya. Aku yakin ia bisa menyelamatkanku dari kehampaanku. Aku yakin ia bisa mengiburku. Aku percaya sepenuhnya padanya.

The End.

Maaf ceritanya ngelantur dan terlalu pendek.

Kunci

A/N: Ceritanya lumayan panjang. Jadi mendingan di-copy-paste supaya hemat bayar internetnya. :-)

Kunci

(Valeria Madison’s PoV)

Aku terbaring di rerumputan di halaman sekolah, membaca bukuku yang belum sempat kuselesaikan. Matahari bersinar cerah, cukup menyilaukan sebenarnya, tapi itu tidak bisa menjadi penghalang bagiku yang sedang ingin menikmati cuaca musim semi halaman sekolah. Bunga-bunga yang berwarna kuning cerah menemaniku yang sedang sendiri dengan setia. Mereka menari-nari bersama angin untuk sekedar bersenang-senang sekaligus hiburan untukku. Daun-daun pohon yang menjadi waliku saat ini tengah mengajakku bercakap-cakap dengan cara tersendiri. Angin menyapu rambutku sambil menyeringai jahil. Aku menikmati ini semua. Ini seperti sebuah negeri pribadiku yang sangat cantik. Andai saja memang benar begitu.

Aku membaca begitu lama sampai akhirnya mataku lelah. Aku menutup bukuku kemudian menaruhnya di sampingku. Memandang ke atas, aku melihat matahari melambai kepadaku, senang akhirnya dirinya ditatap olehku yang sedari tadi hanya membaca buku saja. Wajahku sedikit memerah karena kepanasan, tapi aku tetap di tempatku, mencoba meneguk keindahan musim semi sebanyak-banyaknya. Aku mencintai musim semi. Musim semi selalu membuatku ceria. Musim semi memiliki aura yang bisa membuatku bersemangat. Aku bersyukur di dunia ini ada musim semi. Aku tidak bisa hidup tanpa musim semi.

“Oi! Melamun saja.” Seseorang datang mengagetkanku. Aku langsung terduduk dan melihat siapa tersangka yang mengangetkanku dengan tidak sopannya. Ternyata Richie, teman baikku, sedang menyeringai padaku lalu mengacak-acak rambutku pelan. Aku merenggut.

“Yah, jangan marah dong, Valerie. Masa begitu saja langsung marah?” Richie berkata dengan nada minta maaf seraya duduk di sebelahku. Aku memalingkan muka, berpura-pura marah, padahal aku sama sekali tidak marah padanya.

“Oh, baiklah. Berarti tidak ada makan siang gratis hari ini,” kata Richie dengan nada jahil. Ia menyeringai lagi, seolah tahu pasti bahwa siasatnya kali ini tidak akan gagal. Dan ia benar. Aku langsung berbalik menghadapnya dan nyengir padanya.

“Tidak. Ada makan siang gratis hari ini,” koreksiku. “Permintaan maaf diterima.” Kami berdua saling melempar cengiran lebar dan mengetos tangan kami.

“Dasar tukang makan.” Richie mengacak-acak rambutku lagi.

“Biar saja. Yang penting aku sehat.” Aku menjulurkan lidah padanya. Ia terkekeh. Lalu kami kembali diam. Melihat aktivitas yang dilakukan oleh murid-murid di waktu senggangnya. Bermain skateboard, bercakap-cakap, melakukan kejahilan, sampai berenang di danau mereka lakukan untuk bersenang-senang dan melepas beban pikiran beberapa saat dari kehidupan sekolah yang memusingkan dan melelahkan. Habis makan siang aku ada kelas Biologi, jadi aku belum bebas. Belum lagi tugas-tugas dari para guru yang sudah menumpuk, membuatku ingin bunuh diri saja. Aku menghela napas berat.

“Ada apa?” tanya Richie. Aku tidak sadar sedari tadi ia memperhatikanku. Aku hanya menggeleng dan tersenyum lemah, mencoba memberi isyarat “tidak-apa-apa”. Terlihat kerutan di dahi Richie, pertanda bahwa ia tidak puas dengan alasan bisuku.

“Aku hanya ingat dengan tugasku yang semakin menumpuk, itu saja,” jelasku. Richie menggangguk dan ber-“Oh.” pelan. “Apa kau sudah menyelesaikan tugas-tugasmu?” Aku bertanya padanya.

“Beberapa sudah kukerjakan,” jawabnya merendah. Aku tahu sebenarnya ia sudah menyelesaikan semua tugasnya. Orang gila. Mana ada orang yang bisa menyelesaikan soal Matematika sebanyak satu buku cetak penuh hanya dalam waktu sehari? Otak mesin, julukan yang kuberikan untuknya. Waktu aku memanggilnya dengan julukan itu ia hanya nyengir.

Aku bingung harus berkata apa lagi, maka aku kembali membaca bukuku. Richie berbaring di sebelahku, menutup kedua matanya. Aku melirik ke arahnya. Ia terlihat begitu polos, seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Lugu. Aku baru sadar bahwa ternyata ia memang tampan, sesuai dengan namanya, Mackenzie. Rambut cokelatnya agak acak-acakan tertiup angin. Ya ampun, tanganku terasa gatal. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku ke buku, walau sekali-kali aku kembali melirik sekilas ke arahnya. Hanya ingin memastikan bahwa ia ada di dekatku.

Waktu makan siang tiba. Aku menepuk pipi Richie pelan, mencoba membangunkannya. Ya, Richie memang tertidur. Sepertinya semilir angin yang bergerak lembut ditambah dengan kehadiranku (Ya ampun, sombong sekali aku!) membuatnya nyaman dan ia menjadi mengantuk kemudian akhirnya terlelap. Richie belum juga terbangun. Jadi aku menggunakan alternatif lain yang kupikir cukup efektif. Aku menggaruk-garuk kepalanya.

“RICHIE BANGUN! ADA TIKUS DI KEPALAMU! CEPATLAH BANGUN SEBELUM TIKUS ITU MEMBUANG KOTORAN DI RAMBUTMU!” Aku berteriak keras di telinganya, tidak peduli dengan murid-murid yang melirik ke arahku dengan tatapan tanda tanya. Richie langsung terbangun, kaget.

“Apa? Mana? AARGH!” teriak Richie tidak jelas. Ia mengucek-ngucek matanya, menguap lebar, lalu menyapu rambutnya dengan kedua tangannya. Memastikan bahwa tidak ada kotoran tikus di kepalanya. Richie memandang berkeliling, dan menemukanku yang sedang terbahak puas melihat ekspresi wajahnya.

“Tidak lucu, Miss Madison. Bisakah kau berhenti terkikik-kikik tolol seperti itu?” Richie cemberut.

“Oke, Mr Mackenzie. Sekarang waktunya makan siang. Ayo kita ke kantin,” ajakku. Aku mengulurkan tangan, membantunya berdiri. Lalu kami berjalan bersama-sama menuju kantin.

-oo-

Ternyata kantin sudah sangat penuh. Hanya tinggal beberapa meja lagi yang tersisa. Richie menyuruhku menempati meja di dekat tembok untuk tempat duduk kami sementara ia membeli makanan untuk kami berdua. Ia membeli jus sedangkan aku dibelikan lasagna dan lemon squash. Kami makan dalam diam.

-oo-

“Aku ada kelas Biologi sekarang.” Aku memberitahu Richie saat kami sedang berjalan menyusuri koridor.

“Oh, begitu ya? Sampai jumpa waktu pulang sekolah, ya. Temui aku di taman.” Richie melambai padaku. Aku balas melambai padanya. Aku tahu sekarang Richie ada kelas Ekonomi. Memang pelajaran yang kami pilih berbeda. Pelajaran yang sama yang kami ambil hanyalah Matematika dan Bahasa Inggris. Aku masuk ke kelasku dengan malas-malasan.

Ternyata pelajaran sudah dimulai. Seorang guru di dalam menyambutku dengan tatapan yang begitu menusuk, mengerikan. Siapa dia? Mungkin guru pengganti? Aku tidak tahu. Aku berjalan ke arahnya.

“Maaf—” Aku melihat name tag yang tergantung di blazernya. “—Mrs. Megan,” lanjutku.

“Apa kau tahu hukuman bagi murid yang terlambat masuk ke kelasnya?” tanyanya retoris. Keringat dingin mulai bermunculan di pelipisku. Aku menganggguk.

“Dipasung?”

“HAHAHA…” Terdengar suara murid-murid yang tertawa—seperti dipaksakan, mungkin karena jawabanku yang tidak masuk akal atau ingin mempermalukanku. Mrs Megan berdecak.

“Tentu saja bukan, bodoh.” Aku kaget mendengarnya. Seorang guru mengatai anak didiknya ‘bodoh’? Guru sinting. “Tapi menyapu halaman sekolah dan mencabuti rumputnya yang sudah panjang, kau tahu.” Mrs Megan menyeringai licik, matanya berkilat menyeramkan. Astaga! St Edward’s itu luas sekali! Aku bersumpah akan mengulitinya hidup-hidup.

“Tapi—“ Aku mencoba berdalih, tapi tidak menemukan alasan yang tepat.

“Tapi salah sendiri kau terlambat,” sambung Mrs Megan, membuatku agak kesal. “Cepat keluar.” Mrs Megan mengibaskan tangannya, seolah aku ini hanyalah seekor kucing liar yang tidak sengaja masuk ke kelasnya.

“Maaf, Mrs Megan, aku bertanya-tanya kenapa bukan Mr Carson yang mengajar hari ini. Ada apa dengannya?” tanyaku dengan suara diramah-ramahkan, pertanda jika aku kesal. Ia mengibaskan tangannya lagi.

“Apa hal tersebut begitu penting untukmu? Ia sedang menghadiri pernikahan anaknya di California.”

“Oh baiklah.” Aku melangkah keluar kelas dengan lesu. Sepintas aku melihat kedua sahabatku, Emily dan Mandy, melemparkan tatapan prihatin kepadaku. Aku tersenyum pada mereka, lalu pergi meninggalkan kelas. Ini akan menjadi hari yang melelahkan.

-oo-

Aku meminjam peralatan kebersihan dari pengurus sekolah. Melangkah gontai ke halaman sekolah, aku mulai menyapunya sambil melampiaskan seluruh kekesalanku pada sapu yang malang itu. Alhasil, alih-alih membersihkan halaman, aku malah mematahkan gagang sapu yang kupegang. Aku memaki keras, lalu melemparkan sapu itu sembarangan. Aku duduk merosot, bersandar pada batang pohon yang berada tidak jauh dari tempatku tadi menyapu. Mengusap peluh, aku mengutuk Mrs Megan dalam hati.

Aku memutar bola mataku. Kuperhatikan semua orang yang lewat di depanku, memastikan bahwa tidak ada orang suruhan wanita tua itu yang mengawasiku. Setelah yakin, aku memandang berkeliling lagi.

Jessica Kayden, sang primadona, sedang berjalan ke arahku.

Pertanda buruk. Karena ia adalah musuhku.

Aku menegakkan posisi tubuhku. Mencoba untuk berani padahal takut akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Di belakangnya ada dua bodyguard yang selalu setia menemaninya ke mana pun ia pergi, yang kutakutkan. Kuharap aku tidak melakukan sesuatu yang salah yang bisa menyulitkan diriku sendiri. Semoga.

“Hai Maddy,” sapanya mencemooh. Aku tidak menghiraukannya. Itu jelas ejekan karena Mad artinya gila. Ia berjalan mendekatiku, membuatku nyaris ingin mencekiknya kalau saja aku tidak bisa menahan diri. Ia menyeringai.

“Sedang apa kau di sini, sampah? Membersihkan sampah? Oh, jadi sekarang sampah membersihkan sampah, ya? Menarik,” katanya menyebalkan.

“Diamlah, Kayden,” desisku menahan amarah.

“Mau melawanku, eh? Memangnya kau bisa apa? Kau tidak lebih dari sampah kotor yang merusak keindahan Teddies. Mengganggu pemandangan saja.”

Telingaku memerah, tapi aku tetap bungkam.

“Ada apa? Lidahmu kelu? Mungkin kau perlu sedikit pukulan untuk membuat mulutmu dapat mengeluarkan suara indahmu lagi. Pukul dia, Paige, Cameron!” perintah Kayden. Kedua bodyguardnya melangkah dengan ragu, tetapi memukulku telak pada hidung dan perutku, membuatku terbatuk. Hidungku berdarah. Aku merintih menahan sakit.

“Bagaimana, Maddy? Mau berteriak minta tolong pada semua orang? Silakan saja, aku-mau-lihat.” Kayden berujar puas. Seringaiannya semakin melebar. Bukannya membuatnya lebih terlihat cantik, malah mengeluarkan aura gelap dalam dirinya. Seperti nenek sihir dalam cerita anak-anak.

“Pergilah, Kayden,” kataku lemah, penuh dendam.

“Siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku? Anak cucu George Washington? Aku tidak peduli. Aku tidak mau.” Kayden memberi tekanan pada tiga kata terakhir, lalu menjulurkan lidahnya. Aku menampar pipinya keras. Dalam hati aku merasa bangga karena berani melakukannya.

“Tutup mulutmu, perempuan brengsek! Aku tidak akan segan untuk membunuhmu jika aku mau.” Aku berdiri dihadapannya. “Mau mengadu pada Head of Governors, eh?” tambahku saat aku melihat gerakan-gerakan pada tubuhnya yang mengisyaratkan tunggu-saja-balasanku-aku-akan-mengadukanmu-pada-Mr Stanfield. “Silakan saja, aku-mau-lihat.” Aku mengutip kata-katanya barusan.

“Uh, kau sinting,” umpat Kayden. Aku menyeringai.

“Memang, kadang-kadang.”

“Jauhi Mackenzie,” ujarnya tiba-tiba, tidak mengacuhkan kata-kata terakhirku.

“Apa maksudmu?” Aku sangat bingung.

Jauhi Mackenzie,” ulangnya. “Ia milikku. Kau akan tahu apa yang akan terjadi padamu jika kau bersikeras melawanku.” Kayden berjalan menjauh sambil memegangi pipinya yang merah, meninggalkanku dengan pikiran penuh dengan tanda tanya.

Apa maksudnya? Jauhi Mackenzie. Apa aku harus menjauhi Richie? Kenapa? Ia adalah sahabat terkaribku, lebih dari Emily maupun Mandy. Ia adalah teman sepermainanku saat aku masih berumur lima tahun. Dialah yang selalu menjagaku, membantuku mengerjakan tugas-tugasku, menghiburku di saat aku sedang terpuruk, turut berbahagia ketika aku sedang meraih kejayaanku. Kami melakukan banyak hal bersama-sama. Dan sekarang Kayden, dengan begitu mudahnya, menyuruhku untuk menjauhinya? Untuk apa? Memangnya apa yang akan terjadi padaku jika aku membantahnya? Memangnya siapa dia sampai berhak mengatur hidupku?

Hidup memang menyebalkan. Juga membingungkan.

Aku menatap daun-daun kering yang berserakan di depan mataku. Belum kusapu sejak tadi. Andai saja aku Hermione Granger, aku akan bisa membersihkan semuanya dengan satu jentikan ringan tongkat sihirku. Tapi aku bukan berada di Hogwarts, melainkan St Edward’s. Aku berdiri, lalu berusaha menyapu menggunakan sapu-tanpa-gagang walaupun sulit. Akhirnya tugasku, atau lebih tepatnya hukumanku, selesai. Aku tidak langsung ke kelas, tapi ke toilet terlebih dahulu. Aku tahu penampilanku pasti sudah acak-acakan, dengan hidung penuh darah. Maka aku berinisiatif untuk membersihkan wajahku dulu dan merapikan penampilanku.

-oo-

“Sudah selesai?” tanya Mrs Megan begitu aku sampai di kelas Biologi. Aku menggangguk lalu berjalan menuju meja di samping Mandy. Mrs Megan merentangkan tangan kanannya, menghalangiku. Ya Tuhan, apalagi yang diinginkannya?

“Ya?” Aku menaikan sebelah alisku.

“Kau belum boleh duduk, Miss Madison, masih ada satu urusan lagi yang harus kauselesaikan.”

“Apa itu, kalau boleh saya tahu?”

“Apa kau baru saja membuat masalah dengan Miss Kayden?”

-oo-

Aku melangkah dengan gontai menuju taman, menemui Richie. Otakku memutar balik apa yang baru saja terjadi di kelas Biologi.

“Apa kau baru saja membuat masalah dengan Miss Kayden?”

“Apa maksud Anda?” tanyaku, bingung.

“Jangan berpura-pura tolol, Miss Madison. Kau memang tolol. Miss Kayden memberi tahuku kalau kau menampar pipinya sampai merah.”

“Tapi ia meninjuku lebih dulu, Mrs Megan.”

“Tetap saja kau menamparnya. Besok kuundang orangtuamu dan orangtua Miss Kayden agar datang menghadapku.”

“Tapi—“ Aku mencoba menjelaskan.

“Kembali ke tempatmu,” perintahnya.

“Aku tidak—“

“Kubilang, kembali ke tempatMU.” Mrs Megan menatapku tajam. Aku kembali ke tempat dudukku sambil menghentakan kakiku.

Richie melambaikan tangannya padaku dari bangku taman. Rupanya taman tidak terlalu ramai sekarang. Aku bergegas menghampirinya.

“Maaf sekali, Richie, tugasku menumpuk. Aku tidak bisa bersamamu sekarang. Aku harus mengerjakan tugas-tugasku sebelum mereka makin menumpuk setinggi Mount Everest. Sampai jumpa!”

“Valerie, tunggu sebentar.”

“Ada apa, Richie?” Aku melihat kernyitan di dahinya yang tidak tertutup rambut.

“Apa ada yang salah? Apa yang terjadi tadi? Aku sangat mengenalmu. Kau selalu bersikap aneh jika ada masalah dalam hidupmu. Kau bisa menceritakannya padaku kalau kau mau.”

“Terima kasih banyak, Richie, tapi tidak. Mungkin lain kali saja. Sampai jumpa.” Aku menatapnya sedih. Bukan ini yang ingin kulakukan. Aku ingin menceritakan semuanya pada Richie. Tapi entah kenapa rasanya ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku, membuatku tidak bisa mengungkapkan apa yang ingin kuucapkan di depan Richie. Aku melambai lesu padanya, kemudian berlari menuju asramaku, Tilly’s.

-oo-

Sesampainya di kamarku di Tilly’s, aku langsung menjatuhkan tubuhku di ranjang, masih memakai seragam sekolah. Aku lelah dengan apa yang terjadi. Tanpa sadar aku menangis. Untung saja di kamar hanya ada aku sendiri. Aku mengisak semakin tidak terkendali. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kesialan menimpaku dengan biadab, membuatku tersiksa. Entah nasib buruk apalagi yang akan menghampiriku.

Pertama, terlambat masuk ke kelas Biologi dan mendapat hukuman. Itu masih bisa kuterima, setidaknya hukuman semacam itu tidak menyakiti hatiku.

Kedua, bertengkar dengan Jessica Kayden. Perutku sakit dan hidungku berdarah karenanya. Dan dia menyuruhku untuk menjauhi Richie. Hal yang mustahil kulakukan. Aku makin membencinya.

Ketiga, meninggalkan Richie. Aku meninggalkannya di taman tanpa memberi penjelasan apa pun. Richie pasti akan kecewa dan bingung padaku, atas apa yang telah kulakukan padanya. Aku berjanji untuk meminta maaf padanya.

Aku duduk di tepi ranjang, berusaha menenangkan diri. Tidak ada gunanya menangis, tidak membantu mengatasi masalah sama sekali. Aku bangkit lalu mencoba menghubungi Richie menggunakan ponselku. Richie langsung menjawabnya pada dering pertama.

“Halo? Richard Mackenzie di sini.”

“Richie, ini aku, Valerie. Aku ingin meminta maaf atas apa yang tadi kulakukan. Aku sedang kacau hari ini.”

“Aku sudah memaafkanmu, kok. Tidak ada yang perlu kaucemaskan.”

“Terima kasih, Richie. Kau memang teman terbaikku.” Aku tersenyum meski aku tahu Richie tidak akan bisa melihatku lewat ponsel.

“Sama-sama. Nah, jadi?”

“Apa maksudmu dengan ‘jadi’?”

“Adakah yang ingin kaubagi denganku?”

“Sebenarnya aku takut kau marah, cemas, atau apa.”

“Ceritakan saja. Mungkin aku bisa membantu.”

“Terima kasih.” Aku menceritakan semua hal yang terjadi sepanjang hari ini. Richie hanya mendengarkan tanpa sekalipun menyela. Aku nyaris bisa merasakan kemarahannya.

“Sudah?”

“Ya. Kira-kira seperti itulah ceritanya. Aku bingung, Richie.”

“Apa maksud Kayden dengan menyuruhmu menjauhiku? Memangnya apa yang salah denganku?”

“Justru itu aku bingung karenanya. Dia bilang, ‘Ia milikku’. Apa itu berarti kau adalah kekasihnya?”

“Ha? Mana mungkin?! Aku tidak pernah menyukainya, asal kau tahu. Ia menjijikan.”

“Begitu ya? Tapi Kayden, dengan percaya dirinya, bicara seperti itu padaku. Sungguh menggelikan. Tapi ia mengancamku, seperti yang sudah kuceritakan tadi.”

“Kau berada di posisi yang sulit. Dan orangtuamu dipanggil ke sekolah. Apa maunya dia?”

“Hm… Aku takut dengan apa yang akan dikatakan orangtuaku. Pasti mereka akan merasa kecewa padaku, yang membuat masalah di tahunku yang hampir berakhir.”

“Tenanglah, Fairy. Semua pasti ada jalan keluarnya. Bolehkah aku pergi ke sana, ke kamarmu?”

“Oh, silakan saja. Lagi pula sekarang belum lewat jam malam.”

“Baiklah. Sampai jumpa sebentar lagi.”

Richie menutup teleponnya. Aku melangkah ke depan meja rias, menatap bayanganku. Aku melihat wajah pucat di sana, dengan rambut yang sedikit acak-acakan. Mukanya kusut, dan aku tersadar bahwa wanita yang kulihat sekarang adalah aku. Aku mencoba merapikan rambutku.

Terdengar ketukan dari arah ruang depan. Aku berasumsi bahwa yang mengetuk adalah Richie. Cepat-cepat aku menyelesaikan proses merapikan rambut lalu membuka pintu kamarku.

Jessica Kayden, sang primadona, masih bersama kedua bodyguardnya.

“Kita bertemu lagi, Maddy. Suatu kehormatan tersendiri bagimu.”

“Aku tersanjung,” kataku sinis. “Ada perlu apa kau kemari?”

“Aku hanya ingin mengecek apakah kau sudah melakukan apa yang kuperintahkan atau tidak. Sepertinya kau menurutiku, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ayo kita pergi, Paige, Cameron!” ajak Kayden. Mereka berlalu sama cepat dan tidak terduganya seperti mereka datang. Aku menarik napas lega. Untung mereka datang sebelum Richie datang kemari, jadi mereka tidak akan bertemu dengan Richie.

Tidak lama kemudian, pintu diketuk lagi. Kali ini aku yakin bahwa tamu yang datang adalah Richie. Aku membuka pintu dan kulihat wajah Richie yang tersenyum simpul padaku. Wajahku merona. Aku mempersilakan Richie masuk.

“Apa kau mau minum teh atau kopi?” tawarku.

“Teh saja. Maaf merepotkan,” katanya. Aku hanya tersenyum.

“Tidak apa-apa. Lagi pula kau sudah mau jauh-jauh datang dari Mac’s* kemari hanya untuk menghiburku. Aku berhutang banyak padamu.”

“Aku datang ke sini atas kemauanku sendiri, kok.” Aku tidak menghiraukannya.

Aku pergi ke pantry untuk menyeduh secangkir teh panas. Kuberi sedikit gula (Aku tahu Richie tidak suka teh yang terlalu manis) dan kuaduk. Aku membawa teh tersebut dengan nampan. Tidak lupa kubawa suguhan kecil seperti kue kering dan keripik kentang. Richie berterima kasih padaku lalu meneguk teh buatanku.

“Bagaimana rasanya?”

“Enak sekali. Sesuai dengan seleraku. Bagaimana kau tahu bahwa aku tidak suka teh yang terlalu manis?”

“Aku hanya sering memperhatikanmu, itu saja.” Wajahku merona lagi. Untung Richie sedang mengalihkan pandangannya pada pintu sehingga ia tidak melihat perubahan warna di wajahku.

“Apa ada orang yang datang kemari, sebelum aku datang?” tanya Richie tiba-tiba.

“Apa? Eh… ya, ada. Jessica Kayden.”

“Apa alasan ia datang kemari?”

“Katanya ia ingin mengecek apakah aku menuruti apa yang diperintahkannya atau tidak. Sungguh mengganggu sekali, seperti yang tidak punya kerjaan lain saja. Menyebalkan.”

“Memang,” kata Richie pendek.

“Aku merasa terpenjara sekarang.”

“Kalau begitu, bebaskanlah dirimu.”

“Bagaimana caranya?”

“Kau harus memiliki kuncinya.”

“Penjara yang kumaksud itu ‘kan hanya kiasan, Richie,” kataku, tidak mengerti arah pembicaraannya.

“Iya, aku tahu. Tapi kau memang terpenjara, Valerie. Kau dikekang. Kau harus menemukan kunci agar kau bisa bebas melakukan apa yang kau inginkan, dalam batas yang wajar tentunya.”

“Bagaimana caranya?”

“Kau perempuan hebat. Kau akan bisa menemukannya suatu saat nanti.”

“Richie…”

“Hm?”

“Maukah kau membantuku mengerjakan tugas-tugasku?”

“Kau belum mengerjakannya?”

Aku menggeleng. Richie tersenyum hangat.

“Baiklah, aku akan membantumu.”

-oo-

Fajar menyapa. Aku terbangun dari tidurku, menemukanku terbaring di sofa, masih memakai seragamku lengkap. Seseorang telah menyelimutiku, mungkin Richie. Sepertinya aku tertidur saat mengerjakan tugasku. Aku menguap lebar. Bangkit dari sofa, aku membereskan kamarku yang berantakan. Setelahnya, aku pergi ke kamar mandi dan melakukan hal yang biasa kulakukan pada pagi hari sebelum memulai kelasku.

Semuanya telah selesai. Aku menyampirkan tasku di bahu lalu menyambar roti selaiku asal. Aku hampir terlambat. Membuka pintu dengan tergesa-gesa, aku berlari menyusuri koridor. Semua orang melihatku seolah aku sinting. Bukan hal yang patut dicemaskan. Aku berjalan dengan satu tujuan, yaitu kelas Bahasa Inggris. Aku terus mempercepat langkahku sampai tidak mengacuhkan orang-orang yang memprotes karena tidak sengaja kutabrak.

Tapi ada yang sanggup membuatku berhenti berlari untuk sejenak. Orang yang kutabrak sampai tubuhnya jatuh ke lantai. Ia menarik tanganku, membuatku berbalik menghadapnya. Brian Joshua, sang aktor amatiran.

Joshua melepaskankan tanganku. Ia menatapku dengan pandangan mengamati, melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu tersenyum padaku. Ia mengulurkan tangannya.

“Aku Brian Joshua. Bolehkah aku tahu siapa namamu?”

“Namaku Valeria Madison.” Aku menjabat tangannya dengan ragu.

“Nama yang cantik. Senang berkenalan denganmu.”

“Sama-sama. Er—sampai jumpa nanti, ya. Aku sedang terburu-buru sekarang.” Aku melambaikan tangan padanya lalu kembali berlari mengejar waktu. Aku mendengarnya berteriak tidak jelas memanggil namaku. Aku melirik arlojiku. Sudah jam 07.27, tiga menit sebelum masuk kelas. Aku mencoba untuk berlari lebih cepat, kembali menabrak kerumunan murid-murid yang kebetulan menghalangi jalanku.

-oo-

Aku masuk ke kelas Bahasa Inggris tepat waktu. Memandang ke sekeliling kelas, mataku mencari-cari Richie. Dia duduk di dekat jendela, melambai padaku, mengajakku untuk duduk bersamanya. Aku baru saja hendak melangkah ke meja Richie ketika aku merasakan pandangan yang menusuk tepat pada mataku. Aku menoleh sedikit dan Kayden menatapku tajam, mengancam. Aku langsung mengerti apa arti pandangannya, maka aku melayangkan pandangan meminta maaf pada Richie kemudian mengambil tempat di sebelah Emily. Richie mendesah kecewa.

Mrs McGarry masuk ke kelas. Kami semua menyapanya seperti biasa dipandu oleh Ketua Kelas. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku terpecah antara rasa bersalah pada Richie, marah pada Kayden, dan penasaran dengan Joshua. Aku hanya mendengar sepintas bahwa Mrs McGarry akan mengadakan permainan kecil. A Spelling Competition—Kompetisi Mengeja, katanya. Kami harus membuat kelompok masing-masing beranggotakan empat orang. Dalam hati aku langsung memilih Richie, Emily, dan Mandy. Tapi tidak mungkin berkelompok dengan Richie jika ada Kayden di dalam kelasku, maka aku mengganti Richie dengan Grace, anak berkacamata yang tampaknya jago Bahasa Inggris. Richie berkelompok dengan Jessica Kayden (“Nasib buruk menimpaku,” ratap Richie), Justin Chase (“Dia terlalu aktif!” kata Richie), dan Avery Angel (“Centil sekali! Pantas saja ia bersahabat dengan Kayden.” Richie menghela napas). Richie tampak tidak senang.

Kompetisi Mengeja dimulai. Kami saling berlomba untuk mendapatkan skor tertinggi. Kelas ribut saat itu. Semua murid aktif menjawab pertanyaan Mrs McGarry dengan bersemangat. Mrs McGarry juga turut antusias melihat keaktifan muridnya. Kompetisi terus berlangsung sampai akhirnya skor tertinggi dimenangkan oleh kelompok kami. Aku menjerit senang, Emily dan Mandy saling mengetoskan tangan mereka, sedangkan Grace membetulkan letak kacamatanya sambil tersenyum puas. Alhasil kami mendapatkan reward berupa voucher belanja senilai £1000. Belakangan kami membelanjakannya untuk gaun-gaun malam yang cantik rancangan desainer terkemuka.

Richie tersenyum bangga padaku dan mengacungkan kedua jempolnya.

-oo-

Aku tahu hari ini orangtuaku diundang ke St Edward’s oleh Mrs Megan. Berarti ini pertemuan kami yang pertama setelah liburan satu tahun yang lalu. Aku merindukan mereka, tapi tidak untuk saat ini. Kedengarannya aneh, bukan?

Seorang laki-laki yang tidak kukenal berlari menghampiriku.

“Apakah kau Madison?”

“Ya. Ada apa?”

“Mrs Megan menunggumu di ruangannya.” Laki-laki itu berlalu. Berita yang sudah kutunggu kedatangannya. Aku bergegas pergi ke ruangan Mrs Megan karena aku tahu ia tidak suka orang yang datang terlambat pada undangannya.

Aku tiba di ruangan Mrs Megan. Dengan sedikit gugup, aku mengetuk pintu lalu membukanya. Mom dan Dad duduk di depan Mrs Megan, sedangkan dua orang dewasa di sebelahnya tidak lain adalah Mr dan Mrs Kayden. Aku duduk di samping Mom.

“Nah, sekarang semuanya sudah berkumpul.”

“Tapi putriku belum datang, Mrs Megan,” kata Mr Kayden.

“Ah, ya, baiklah. Kita tunggu beberapa menit lagi.”

Tapi Kayden tidak kunjung datang.

“Mungkin kita harus memulai pembicaraan kita sekarang. Waktuku terbuang sia-sia di sini.” Kudengar Dad berkata dengan nada agak tidak sabar. Aku mengangguk setuju.

“Dad benar. Lagi pula aku ada kelas Matematika setelah ini. Kita harus bergegas menyelesaikan masalah ini,” timpalku.

“Tapi anakku berperan penting dalam masalah ini,” sela Mrs Kayden.

“Tentu saja. Ia memainkan peran antagonis,” desisku pelan. Hanya Mom yang bisa mendengar suaraku. Ia menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, menyuruhku diam.

“Miss Madison, Mr Wilson sudah kuberi tahu bahwa kau akan datang terlambat ke kelasnya karena ada urusan terlebih dulu, jadi kau tidak perlu takut akan dimarahi atau dihukum olehnya.” Mrs Megan tersenyum sinis.

Terdengar suara ketukan pintu. Mrs Megan beranjak untuk membukakan pintu tersebut. Tampak Jessica Kayden, ditemani dua orang bodyguardnya, masuk ke ruangan.

“Maaf telah membuat Anda semua menunggu lama,” katanya dengan sangat sopan, agak berlebihan sebenarnya. Ia melangkah mendekati kedua orangtuanya, lalu berbalik menghadap Mrs Megan.

“Bolehkah saya duduk, Mrs Megan?”

“Oh tentu saja, Miss Kayden. Silakan duduk di kursi berlengan di sebelah sana. Ya, di situ.”

“Terima kasih,” kata Kayden dengan nada menjilat. Sangat memuakkan. Ia duduk di kursi tersebut, sedangkan kedua bodyguardnya berdiri di kanan-kirinya.

“Sekarang bisa saya mulai?” tanya Mrs Megan.

“Tentu saja,” jawab kami hampir bersamaan.

“Pertama, marilah kita dengarkan penjelasan masalah ini dari Miss Kayden. Silakan, sayang.”

“Terima kasih. Kemarin saya sedang berjalan-jalan di koridor. Mata saya tanpa sengaja menemukan Madison yang sedang duduk di bawah pohon dengan sapu-tanpa-gagang yang berada tidak jauh dari tempatnya duduk. Aku datang menghampirinya dan hendak membantunya menyapu, tetapi ia malah menamparku dengan keras sampai pipiku memerah,” cerita Kayden. Mendengar bualannya, aku merasa bahwa aku tidak boleh tinggal diam.

“Tapi, Mrs Megan—“ Aku berusaha menyela. Mrs Megan melayangkan tatapan ITU lagi padaku.

“Miss Madison menampar putriku, benarkah itu? Miss Madison?” tanya Mr Kayden tajam.

“Ya, tapi—“

“Sampai merah?”

“Ya, tapi—“

“Semuanya sudah cukup. Tidak ada yang perlu dijelaskan.”

“Tapi—“ Aku mulai merasa frustrasi sekarang. Dad mengangguk padaku.

“Mrs Megan, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan hanya mendengar jalannya masalah dari satu sudut pandang saja. Kita memerlukan sudut pandang yang lain. Aku yakin putriku tidak akan menampar Miss Kayden begitu saja tanpa alasan yang jelas. Jadi izinkanlah Valerie untuk menjelaskan masalah ini melalui sudut pandangnya.” Dad memutuskan dengan bijaksana. Aku sangat bangga dan berterima kasih padanya.

“Tentu, tentu, Mr Madison.” Mrs Megan berkata dengan nada yang agak meremehkan, membuatku SANGAT SANGAT kesal.

“Terima kasih telah memberi saya kesempatan untuk menjelaskan.” Aku memandang Mrs Megan. Kulihat dari sudut mataku, Mom dan Dad tersenyum menyemangati. “Seperti yang telah Anda ketahui, saya terlambat masuk ke kelas Anda. Anda menjatuhkan hukuman pada saya—menyapu halaman dan mencabuti rumput—dan saya menjalankan hukuman tersebut.

“Saat saya sedang beristirahat sejenak di bawah pohon, Kayden datang menghampiri saya bersama kedua bodyguardnya. Dia memanggilku dengan nama ‘Maddy’ dan mengejekku dengan tidak sopan. Aku hanya diam saja mendengarkan ocehannya. Ia keberatan dengan diamku lalu menyuruh kedua bodyguardnya untuk memukulku. Perutku sakit dan hidungku berdarah. Aku tidak mau tinggal diam disiksa seperti itu, maka aku menampar pipinya keras. Dia mengumpat lalu menyuruhku menjauhi sahabatku, Richie, tanpa alasan. Setelah berkata seperti itu dia pergi entah ke mana,” tuturku panjang lebar, puas karena akhirnya pendapatku didengarkan.

Melodi keheningan mengalun bisu di ruangan itu. Semua yang ada di sana tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka mendengarkan cerita dari dua sisi yang berbeda, mereka mempunyai pendapat sendiri, mereka tahu siapa yang bersalah. Mrs Kayden memecahkan keheningan.

“Tapi tetap saja ia menampar putriku!”

“Dia yang memulai masalah terlebih dulu!” Mom membelaku.

“Dia mengataiku perempuan brengsek!” Kayden membela diri.

“Apa?” bisik Dad dan Mr Kayden tidak percaya.

“Itu kenyataan,” desisku.

“Bisa diam semuanya?” Mrs Megan menyela. “Kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah jika terus ribut seperti ini.”

Hening.

“Baiklah, mari kita temukan benang merahnya.” Mrs Megan memulai. “Siapa yang memiliki lebih banyak kesalahan? Ayo kita analisa satu per satu. Dimulai dari kesalahan Miss Madison. Pertama, dia terlambat masuk ke kelasku. Kedua, dia menampar Miss Kayden. Ketiga, dia mengatai Miss Kayden perempuan brengsek. Apa itu benar?”

“Ya,” akuku.

“Selanjutnya kesalahan Miss Kayden. Pertama, dia mengatai Miss Madison dengan panggilan ‘Maddy’. Kedua, dia menyuruh bodyguardnya untuk memukul Miss Madison. Ketiga, dia menyuruh Miss Madison untuk menjauhi sahabatnya sendiri, Mr Mackenzie. Apa itu benar?”

“Ya.” Kayden mengaku.

“Bisakah kau menjelaskan kenapa aku harus menjauhi Richie?” tanyaku padanya. Ia menatap benci padaku.

“Bukankah aku sudah pernah mengatakannya?”

“Ya. Kau berkata, ‘Ia milikku’. Aku tidak mengerti apa maksudnya itu,” kataku jujur, benar-benar penasaran.

“Tidakkah dua kata tersebut sudah cukup menjelaskan semuanya? Aku menyukainya. Ia akan menjadi milikku, bagaimana pun caranya.”

Aku kaget mendengar jawabannya. Kukira selama ini ia tidak menyukai Richie sama seperti ia tidak menyukaiku. Aku tidak pernah menyukainya, asal kau tahu. Ia menjijikan, aku ingat perkataan Richie kemarin. Richie tidak pernah menyukai Kayden. Kayden saja yang terlalu percaya diri. Sesuai dengan namanya, Jessica Kayden. Jessica memang berarti pemikat hati pria, tetapi ia tidak berhasil memikat hati Richie. Entah kenapa aku merasa puas karenanya.

“Tapi kau tidak bisa menyuruhku menjauhinya begitu saja. Ia sahabatku sejak kami masih berusia lima tahun, kau tahu. Kau tidak bisa merusak persahabatan yang telah kami bina selama sebelas tahun hanya dalam waktu satu menit. Aku tidak mau menjauhinya,” bantahku.

“Kau akan tahu akibatnya jika kau berani menentangku, Maddy.”

“Kau tidak berhak mengatur kehidupanku.” Aku nyaris menangis.

“O yeah? Aku berhak.”

Aku diam. Tidak ada gunanya berdebat dengan Kayden. Ia selalu memutar balikkan perkataanku. Aku memandang Mom dan Dad, meminta bantuan pada mereka.

“Oke. Miss Kayden, sebenarnya kau bisa mendekati Mr Mackenzie tanpa harus menyuruh Valerie untuk menjauh darinya.” Mom memulai argumennya.

“Ya, kau pasti bisa, Sayang,” tambah Mrs Kayden. “Tidak baik memutuskan tali persahabatan orang lain seperti itu. Kau akan mendapat dosa jika kau melakukannya.”

“Yeah, aku tahu. Hanya saja aku ingin lebih leluasa dalam mendekatinya.” Kayden mengaku lagi, wajahnya merona. Mrs Kayden tertawa kecil.

“Kau sama seperti aku.” Mrs Kayden tersenyum. Ia menoleh memandang suaminya, yang juga tersenyum menatapnya. “Aku juga melakukan hal yang sama denganmu sewaktu sekolah dulu, sudah lama sekali. Tapi aku tidak menikah dengan pria yang kukejar, melainkan dengan ayahmu,” lanjut Mrs Kayden, kembali memandang suaminya.

“Apa itu bukan berarti, meskipun aku terus menerus mencoba mendekati Mackenzie, aku akan mendapatkan hatinya?”

“Tepat sekali, Jessy.” Mrs Kayden membelai rambut putri tunggalnya dengan sayang. “Tapi kau tetap bisa berteman dengannya,” tambahnya.

“Kalau boleh aku tahu, siapakah pria yang dulu sempat memenjarakan hati Mom, selain Dad?” tanya Kayden ragu-ragu.

“Er—sebenarnya pria beruntung itu berada dalam ruangan yang sama dengan kita, Sayang.”

Mata Kayden menjelajahi ruangan, dan matanya terpaku pada Dad. Aku juga ikut menatap Dad. “Apakah dia?” Kayden menunjuk Dad. Mrs Kayden mengangguk lalu tersenyum pada Dad.

“Apa kau mengingatku, Peter?” tanya Mrs Kayden pada Dad, memastikan.

“Tentu, Ella. Senang bisa bertemu denganmu lagi.” Dad balas tersenyum padanya.

“Sudah lama sekali, ya? Hm… lima belas tahun?”

“Jadi kau pernah dikejar-kejar oleh Mrs Kayden sewaktu kau masih remaja, Sayang?” sela Mom.

“Ya. Kebetulan yang hebat sekali, bukan? Kita kembali dikumpulkan di St Edward’s karena anak kita memiliki masalah yang sama dengan kita saat masih remaja. Wow.” Dad terkekeh.

Aku tersenyum pada Kayden, dan—ajaibnya—ia balas tersenyum padaku.

Saat itu aku tahu bahwa aku dan Kayden adalah teman.

Aku melirik arlojiku. 10.01. Kelas Matematika sudah dimulai satu menit yang lalu. Aku mohon pamit kepada semua orang yang berada di ruangan Mrs Megan lalu cepat-cepat keluar dan berlari menuju kelas Matematika. Sepertinya tidak ada kelas yang kulalui tanpa keterlambatan.

-oo-

Aku mengetuk pintu kelas Matematika. Aku tahu aku sudah terlambat, tapi kali ini aku tidak terlalu khawatir karena Mrs Megan sudah memberi tahu Mr Wilson bahwa aku akan terlambat sebab ada urusan. Sesampainya di depan kelas, aku mengatur napas, mengetuk pintu, lalu membukanya dengan perlahan.

Mr Wilson tersenyum padaku, lalu menyuruhku untuk duduk dan mengikuti pelajaran. Kali ini aku mengambil tempat di samping Richie. Wajahku berseri-seri, membuat Richie penasaran dengan apa yang terjadi. Aku tahu itu karena terlihat kerutan di kening Richie, ciri khasnya jika ia ingin tahu.

Aku melihat Richie menyobek kertas di ujung bukunya, kemudian mulai menulis. Setelah selesai, sobekan kertas itu ia berikan padaku. Aku membacanya.

Apa yang terjadi, Valerie? Kau tampak ceria sekali, membuatku penasaran.

Tulisannya bagus sekali, membuatku iri saja. Aku bahkan nyaris tidak mau menulis karena malu dengan tulisanku. Bila tulisan kami disandingkan, mungkin akan terlihat seperti gerobak dengan limosin. Tapi untuk menghargainya, aku tetap menulis dengan cara ditekan, khasku.

Ceritanya panjang, Richie. Akan kuceritakan saat makan siang nanti.

Karena jawabanku yang tidak memuaskan itu, setiap satu menit sekali Richie mengalihkan tatapannya padaku sambil nyengir putus asa, menginginkan jawabanku. Setiap ia menoleh, aku menjulurkan lidahku, seperti saat kami berumur lima tahun. Lima tahun yang menyenangkan dan konyol.

-oo-

“Jadi, bagaimana ceritanya?” tanya Richie antusias. Aku menceritakan semuanya, mulai dari bertabrakan dengan Joshua sampai masuk ke kelas Matematika. Richie mendengarkan dengan saksama, hanya menyela dua kali. Setelah aku selesai, ia tersenyum puas.

“Ayo bersulang, demi persahabatan kita!” serunya bersemangat. Ia mengangkat gelasnya. Aku menempelkan gelasku dengan gelasnya sampai terdengar bunyi dentingan kecil, lalu kami minum bersama-sama.

“Kau tahu, aku lega sekali ketika kita diperbolehkan bersahabat lagi,” kataku riang.

“Aku juga. Kau memang oke.”

“Tentu saja,” kataku bercanda. Kami tertawa kecil.

“Sudah kubilang dari awal, kau pasti bisa menemukan kuncinya.”

“Ya. Terima kasih banyak, Richie. Kau telah banyak membantuku. Aku berjanji tidak akan merepotkanmu lagi.”

“Tidak. Buatlah aku repot,” katanya tersenyum jahil.

“Kenapa?” Aku mengangkat sebelah alisku, tidak mengerti.

“Agar aku memiliki alasan untuk selalu berkomunikasi denganmu.” Richie menunduk.

“Kau tidak perlu memiliki urusan terlebih dulu untuk menemuiku, Richie.” Aku menepuk bahunya lembut. “Kau selalu kuterima dengan tangan terbuka.”

“Trims. Kau baik sekali. Aku sangat beruntung bisa mengenalmu.” Richie mengangkat kepalanya lagi, lalu membelai rambutku lembut. Aku memejamkan mataku.

Hening.

Aku mendengar langkah sepatu yang berderap begitu keras dari kejauhan. Tidak lama kemudian aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku, terasa dekat sekali. Penasaran, aku membuka kelopak mataku.

“AAARGH!” pekikku nyaring, membuat semua orang yang ada di kantin, termasuk seseorang di depanku, menutup telinganya, merasa tuli sesaat. Aku berusaha mengendalikan diri. Kulihat Joshua berdiri tidak jauh dariku, mengernyit. Aku menoleh menatap Richie, yang kali ini terlihat seperti menahan tawa. Entah apa yang dianggapnya lucu.

“Kenapa kau berteriak, Miss Madison? Membuatku kaget saja.” Kudengar Joshua berkata sambil mengusap-usap dadanya, memulihkan rasa kaget.

“Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Kau muncul dengan tiba-tiba di hadapanku, lalu memanggil namaku dari jarak yang begitu dekat. Wajar saja kalau aku berteriak,” kataku menahan emosi.

“Sudahlah.” Richie berusaha melerai. Aku langsung diam, kapok mencari masalah lagi.

Hening.

“Jadi ada perlu apa kau kemari?” Kesabaranku mulai diuji ketika sedari tadi Joshua hanya memandangi wajahku saja, membuatku jengah.

“Hanya ingin mengenalmu lebih dekat.” Joshua mengangkat bahu. Richie terkikik pelan.

“Boleh kutahu leluconmu, Richie?” Aku mendelik padanya. Richie hanya menggeleng sambil tersenyum aneh. Andai saja aku bisa membaca pikirannya. Aku termenung.

Joshua mengibaskan tangannya di depanku, membuatku sedikit terlonjak.

“Ada apa lagi, Mr Joshua?”

“Kau melamun.”

“Ada yang salah?” Aku mulai jengkel.

“Tidak juga.”

“Oh, diamlah. Kau membuatku gila.”

“Apa itu berarti kau menyukaiku?” tanyanya penuh harap, matanya berbinar-binar.

“Tidak. Tidak. TIDAK!” jeritku. Richie terbahak keras. Aku bangkit dari kursiku. “Permisi, aku mau ke toilet sebentar.” Aku buru-buru meninggalkan mereka. Richie tertawa histeris, tapi tidak lama setelahnya ia sudah menyusulku berlari.

-oo-

“Kau baik-baik saja, Valerie?” tanya Richie khawatir. Sejak tadi aku hanya diam saja.

“Seperti namaku, aku sehat walafiat. Tidak ada yang salah.”

“Kau yakin?”

“Seratus persen.”

Hening.

Aku menautkan jemariku, lalu menumpukan kepalaku di atasnya. Richie bersandar pada bangku, menatap awan. Untuk beberapa menit kami berada dalam posisi itu, dalam keheningan, tanpa saling berbincang, bisu. Dunia seolah menghormati kebisuan kami dengan ikut terdiam tenang. Mataku menerawang, tidak terfokus pada apa pun. Begitu pula dengan Richie.

Akhirnya ada sesuatu yang menyadarkan kami. Ponsel Richie berbunyi nyaring. Kami berdua terlonjak. Dengan cepat Richie mengambil ponselnya yang berada di dalam saku celananya. Ia membuka mulut tanpa suara setelah melihat siapa yang menelponnya—Dad. Aku mengangguk dan Richie menjawab teleponnya.

Aku memandangi Richie selama ia menjawab telepon ayahnya. Rambut cokelatnya tertiup angin, membuatnya terlihat sedikit acak-acakkan. Mulutnya membuka dan menutup, suaranya mengalun dari dalamnya. Aku selalu menyukai suara Richie, kedengarannya empuk. Wajahnya sempurna, membuatku ingin—ah—menyentuhnya walau hanya sekejap. Richie menutup ponselnya lalu membalas tatapanku.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanyanya. “Terpesona dengan ketampananku, ya?”

“Iya—eh, tidak! Kau saja yang terlalu percaya diri.” Wajahku memerah. Richie tertawa renyah.

“Kau tidak bisa menipuku. Matamu mengkhianatimu, Valerie.” Richie menyeringai jahil.

“Begitu ya? Sudahlah, lupakan. Kau dan ayahmu membicarakan apa tadi?” Aku mengalihkan pembicaraan.

“Sebenarnya aku pun tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakannya. Soal perusahaan. Tapi aku berhasil menangkap inti pembicaraannya. Mimpi buruk, kau tahu.”

“Sebegitu buruknya? Memangnya apa?”

“Aku sendiri tidak mau mengatakannya. Membicarakannya hanya akan membuatnya terasa semakin nyata.”

“Kau membuatku penasaran, Richie. Tapi jika kau tidak mau membicarakannya, aku tidak memaksa.”

“Oh, baiklah. Akan kuberi tahu kau, tapi jangan sebarkan kabar ini pada teman-temanmu, termasuk Emily dan Mandy, oke? Ingat, hanya kau.”

“Janji.”

“Jadi, Dad berencana untuk—er—menjodohkanku dengan… Jessica Kayden.”

-oo-

Aku mengerjakan tugas-tugasku yang sudah hampir selesai berkat bantuan Richie. Bicara tentang Richie, aku jadi ingat apa yang ia katakan tadi siang, bahwa ayahnya merencanakan untuk menjodohkan Richie dengan Kayden. Bagaimana bisa?

Richie tidak menyukai Kayden sama sekali, jauh berbeda dengan Kayden. Kayden pasti akan merasa sangat beruntung. Tentu saja, mengingat ia suka sekali dengan Richie sampai rela menerima tamparanku tanpa melawan lagi. Ada perasaan aneh yang timbul di hatiku, baru pertama kali kurasakan. Rasanya sakit sekali, membuat monster dalam diriku muncul dengan nafsu membunuh, membunuh Kayden. Tidak bisa kucegah, membuatku sinting. Aku berusaha mengontrol pikiranku. Aku baru saja berbaikkan dengannya. Mana mungkin aku mau menukarnya dengan permusuhan lagi?

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, menjernihkan pikiranku. Ini hal yang asing, sama sekali baru. Perasaan yang tidak kumengerti. Aku ingin membuangnya jauh-jauh, tapi tidak bisa. Aku hanya bisa berharap bahwa ini hanyalah imajinasiku belaka, yang bisa menghilang dalam sekejap.

-oo-

Sekarang hari Sabtu. Tidak ada kelas, yang ada hanya ektra kurikuler. Aku ikut ekstra kurikuler Musik, lebih tepatnya piano. Sejak kecil aku sudah les piano. Aku masih ingat guru lesku, Mr Falconer, pernah berkata bahwa aku berbakat di bidang seni. Aku senang sekali mendengarnya saat itu, maka aku berlatih dengan tekun, dengan bayangan sebagai pianis terkenal terus melekat di otakku.

Juga jangan lupa, aku pun berbakat di bidang seni rupa, khususnya melukis. Sepertinya seni memang mengalir dalam darahku. Di kamarku di rumah, kanvas-kanvas tergantung di dinding kamarku, menampakkan seluruh karyaku. Di St Edward’s hanya satu kali saja aku melukis, sisanya paling menggambar. Karenanya, aku selalu membawa buku gambar ke mana pun aku pergi.

Aku melangkah pelan ke kelas Musik. Tidak ada semangat, tidak ada gairah, seperti zombie. Kalimat ITU membuatku patah semangat, padahal tidak biasanya aku seperti ini. Ini aneh. Ini seperti bukan aku. Ini orang lain. Aku yang sebenarnya tidak akan seperti ini. Aku menegakkan tubuhku, mencoba berjalan dengan langkah yang mantap, bukannya seolah tanpa arah seperti ini.

Akhirnya aku tiba di kelas Musik. Aku langsung berjalan menuju bagian piano, lalu mencari piano yang tidak terpakai. Mandy melambai padaku, menyuruhku untuk menempati piano di sebelahnya. Aku menurut.

“Tumben kau tepat waktu,” gurau Mandy.

“Lain kali aku akan bangun lebih pagi lagi,” ucapku berpura-pura sinis. “Boleh kupinjam partiturmu? Punyaku tertinggal di kamar.”

“Silakan. Aku masih ada dua lagi, kok.”

“Terima kasih.”

Aku membaca partitur Mandy sejenak. Ternyata ini “Minute”, karya Johann Sebastian Bach. Aku memainkannya sambil merasakannya. Memejamkan mataku, aku nyaris bisa menyentuh melodi yang menari di sekelilingku kalau saja tidak ada suara tepukan tangan yang menghancurkan seluruh konsentrasiku. Aku membuka mataku.

Aku mendapati wajah tampan Richie sedang tersenyum bangga padaku.

Richie mendapati wajahku merona sewarna kelopak mawar hanya karena senyumannya.

“Aku baru tahu kau tertarik dengan musik,” kataku, membuka percakapan.

“Sudah lama sekali aku menyukai musik. Musik pertama yang kudengar adalah musik yang kaumainkan dengan pianomu saat kau berumur empat tahun. Apa kau tahu musik dapat memberi tahu kepribadian seseorang?”

“Apa maksudmu?”

“Misalnya ada orang yang menyukai musik klasik. Orang itu bisa dibilang mempunyai kepribadian yang kreatif, kau tahu. Dan masih banyak lagi musik yang lain dan kepribadiannya seperti apa.”

“Mengagumkan.”

“Lanjutkanlah, Fairy. Aku ingin mendengar lebih banyak.”

Aku kembali memainkan piano. Richie menghentak-hentakan kakinya senada dengan musik sambil sedikit menggoyangkan tubuhnya. Aku makin tenggelam dalam irama yang begitu memabukkan. Aku merasa ada yang menyentuh bahuku. Aku menoleh ke belakang, masih memainkan pianoku, dan mendapati Richie yang mengulurkan salah satu tangannya padaku, mengajakku berdansa. Aku menoleh menghadap Mandy, memberi isyarat tanpa suara untuk melanjutkan permainanku. Mandy mengangguk.

Aku berdiri. Tangan Richie berada di pinggangku sedangkan tanganku dikalungkan di lehernya. Kami berdansa. Berputar. Menari. Aku merasa begitu bahagia berada di dekatnya, berdansa dengannya. Aku merasa hidup, utuh. Jantungku berdetak cepat, bahkan aku sempat khawatir kalau Richie akan mendengarnya.

Richie memutar tubuhku, lalu tersenyum padaku. Aku balas tersenyum padanya. Darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Richie menarik tubuhku lebih dekat ke tubuhnya. Wajah kami memerah. Ini pertama kalinya aku melihat Richie begitu gugup, membuat monster dalam diriku senang, karena Richie gugup karenaku. Richie tampak ragu. Sepertinya terjadi perang batin dalam dirinya. Tidak lama kemudian ia tampak sudah meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Richie mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu mengecup keningku. Singkat, namun lembut.

-oo-

Aku berada di Tilly’s, tepatnya di kamarku, mengenang kejadian yang baru saja terjadi siang tadi. Richie mencium keningku. Entah kerasukan apa sampai aku merasa begitu bahagia seperti ini. Tubuhku terasa ringan, mungkin bisa melayang hanya karena hembusan napas saja. Rasanya aku ingin melompat-lompat seperti orang gila saking senangnya. Richie… Richie… Richie Mackenzie… namanya mengalun seperti musik di telingaku, membuatku menari dalam irama ilusi. Aku terus menari. Terbang. Melayang. Terbuai. Aroma tubuhnya masih dapat kucium dengan jelas. Tapi aku tidak mau terhanyut lebih jauh, tenggelam makin dalam, karena aku tahu, Richie sudah dijodohkan oleh orangtuanya. Ia tidak akan pernah bersamaku. Mengingat fakta tersebut, aku bergeming.

-oo-

Waktu terus berlari sampai tibalah hari pernikahan Richie. Aku diundang olehnya. Rasanya aku ingin menangis ketika menyadari fakta bahwa Richie akan menjalani hidup bersama orang lain. Tapi aku harus tegar. Richie tetap sahabatku, dan aku harus datang di hari pernikahannya. Aku mengenakan gaun terbaikku dan sedikit merias wajahku. Rambutku kubiarkan tergerai.

Aku tiba di gedung pernikahan Richie. Mewah, kesan pertama yang terbesit di benakku ketika aku melihatnya. Aku menulis namaku di daftar tamu kemudian masuk ke gedung. Kutemukan Richie berada di panggung, bersama Kayden di sampingnya, melemparkan senyum pada para tamu. Senyum Richie seperti yang agak dipaksakan, menurutku. Mungkin ini hanya khayalanku saja, tapi Richie tampak tidak terlalu bahagia. Aku melangkah anggun ke arah panggung untuk memberi selamat pada Richie.

“Kau terlihat sangat anggun, Fairy.” Richie tersenyum padaku.

“Selamat ya, Richie. Kau beruntung mendapatkan wanita secantik dia.” Aku memeluk Richie sambil menyunggingkan senyum palsu. Air mata menetes ke pipiku, melunturkan riasanku. Richie berusaha melepaskan pelukanku, tapi tidak jadi ketika ia menyadari bahwa bahuku bergetar menahan tangis.

“Kenapa kau menangis, Valerie? Mana sahabatku yang selalu tampil ceria?” Richie menepuk-nepuk bahuku lembut. “Sudahlah. Aku tidak suka melihatmu menangis.”

“Richie?” panggilku.

“Ya?”

“Maukah kau berjanji untuk selalu mengingatku? Mengizinkanku datang ke rumahmu, meskipun hanya di teras rumahmu? Bersedia datang ke gubuk reyotku?”

“Tentu saja, Valerie. Kau temanku. Dan jangan sebut rumahmu gubuk. Kau tahu kalau rumahmu itu lebih besar dari Gedung Putih,” katanya.

“Terima kasih.”

“Aku menyayangimu,” bisiknya di telingaku. Hanya aku yang dapat mendengar suaranya.

“Begitu pun aku.” Aku mengangguk lalu melepaskan pelukanku. Aku tersenyum padanya dan ia balas tersenyum padaku. Aku berjalan menuruni panggung, ke arah tempat duduk tamu.

-oo-

Aku dan Richie saling berkunjung. Biasanya aku yang pergi ke rumahnya karena Richie selalu disibukkan oleh keluarga dan kariernya sebagai businessman. Pernah suatu kali aku pergi ke rumahnya dan ia sedang berada di luar kota. Kayden-lah yang membukakan pintu. Begitu ia melihat bahwa akulah tamunya, ia langsung membanting pintu di depanku, tidak sopan dan kurang ajar. Aku menghela napas dan pergi meninggalkan rumahnya, tidak pernah kembali lagi. Tapi Richie selalu mengirimkan pesan singkat padaku melalui ponselnya.

Hari Sabtu mendatang, Richie menyempatkan diri datang ke rumahku.

“Hai Valerie.”

“Richie!” Aku memeluknya, rindu sekali padanya. Selama beberapa saat kami saling berpelukan, saling merasakan kehadiran satu sama lain, menentramkan.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Richie setelah kami melepaskan pelukan kami. Kami berjalan bersama-sama menuju ruang keluarga lalu duduk di salah satu sofanya.

“Luar biasa,” dustaku. “Kau?”

“Sempurna.” Ia tersenyum, lalu kernyitan muncul di dahinya. “Kau tidak luar biasa.” Itu pernyataan. Bagaimana ia bisa tahu? Seolah bisa mendengar pikiranku, ia melanjutkan, “Seperti yang sudah pernah kukatakan, matamu mengkhianati perkataanmu sendiri.”

Aku menghela napas berat.

“Ceritakanlah masalahmu, Valerie. Mungkin itu akan membuatmu merasa lebih ringan,” bujuk Richie.

“Aku hanya kesepian. Rumah ini begitu besar, dan terasa lima kali lipat lebih besar karena hanya ada aku beserta pelayan-pelayanku saja yang ada di rumah ini. Aku butuh teman,” ceritaku padanya. Entah kenapa aku selalu terbuka padanya. Mungkin karena ia selalu tampil dewasa dan bijaksana di mataku, juga pintar.

“Aku temanmu,” ujar Richie pendek.

“Tapi kau tidak selalu ada,” bantahku. Richie menatapku sendu.

“Memang. Tapi aku akan selalu ada di dekatmu, di lubuk hatimu. Jangan butakan matamu, dan kau akan bisa melihatku tersenyum padamu, menyemangatimu, menemanimu.” Richie membelai rambutku dengan sayang.

“Baiklah.” Aku sangat lelah. Tanpa terasa aku tidur di dalam pelukan Richie. Richie membelai punggungku lembut, membuatku merasa aman.

Senja menjelang. Richie membangunkanku, lalu berpamitan denganku. Ketika Richie sudah mencapai gerbang, aku memanggilnya. Richie berbalik dan aku menghambur ke dalam pelukannya. Richie yang kebingungan balas memelukku.

“Selamat tinggal, Richie.” Aku berbicara di bahunya, menahan tangis.

Mata Richie berkilat heran, sangat bingung, tidak dapat menangkap maksud dibalik perkataanku. Sedetik kemudian aku nyaris dapat melihat pencerahan di mukanya, namun cepat-cepat ia ubah emosinya menjadi datar.

Sampai jumpa, Valerie,” koreksinya. Aku mengangguk setuju. Richie berbalik dan masuk ke mobil Porsche-nya.

-xx-

(Richard Mackenzie’s PoV)

Firasat tidak enak itu kembali menghantuiku.

Sampai pada saatnya aku sudah tidak tahan untuk kembali mengunjunginya. Sekali lagi aku kembali ke rumah mewah bercat putih itu. Kali ini, Bathsheba, kepala pelayan Valerie yang membukakan pintu. Wanita itu tersenyum melihatku.

”Ah, Mr Mackenzie,” sambutnya ramah. ”Saya sudah bertanya-tanya sendiri kapan Anda akan datang lagi. Masuklah.”

Aku mengikutinya masuk ke rumah.

”Kemarilah, saya ingin memperlihatkan Anda sesuatu,” katanya ketika aku hendak duduk di sofa tempatku biasa duduk.

Ia membawaku ke sebuah kamar. Kamar itu besar dan rapi. Didominasi warna pastel dan cokelat. Terdapat sebuah ranjang ukuran king size di sudut dekat jendela. Foto Valerie bersama teman-temannya terpajang di meja samping tempat tidur, tertawa dan melambai, juga foto Mrs Madison yang tersenyum.

Namun bukan itu yang membuatku terkejut. Melainkan jejeran kanvas yang disandarkan di sepanjang dinding. Wajahku balas menatapku dari hampir setiap kanvas. Beberapa menampakkan diriku sedang tertawa, sedang bersama Justin.

Aku berjalan mendekati lukisan-lukisan itu, terpesona. Meneliti satu demi satu wajahku. Valerie benar-benar berbakat. Lukisan itu persis seperti foto.

”Valerie kemana?” aku bertanya pada Bathsheba.

Wanita itu tersenyum lemah. ”Anda akan segera tahu, Mr Mackenzie. Tunggulah sebentar.” Ia keluar kamar.

Aku kembali asyik mengamati diriku sendiri dalam kanvas. Aku terpaku pada sebuah lukisan dengan latar belakang yang kukenali sebagai perpustakaan St Edward’s. Di lukisan itu aku menghadap ke samping, tampak sedang membaca.

Mataku bergerak ke bagian bawah lukisan itu. Valerie telah menuliskan sesuatu di sana. Aku tertegun membacanya.

”Kita pergi sekarang?” suara Bathsheba mengagetkanku. Ia sudah mengenakan mantel bepergiannya.

”Kita mau ke mana?” tanyaku bingung. ”Di mana Valerie?”

Bathsheba tidak menjawab. Ia berbalik dan keluar kamar. Aku mengikutinya.

Wanita itu mengunci pintu rumah setelah kami keluar dan kami mulai berjalan menyusuri jalan setapak berselimutkan daun-daun kering.

Ketakutan menguasaiku ketika akhirnya kami sampai di sebuah kompleks pemakaman tua.

Kenapa ia membawaku kemari? Valerie tidak... dia tidak...

Aku melihatnya. Nisan batu itu masih baru.

RIP

Valeria Madison

1958 – 1982

Aku tidak percaya. Aku tidak percaya!

”Miss Madison meninggal sebulan yang lalu,” ucap Bathsheba lirih seraya meletakkan bunga yang dibawanya dari rumah di atas makam majikannya.

”B-bagaimana bisa?” suaraku bergetar.

”Beliau menderita penyakit yang sama dengan yang membunuh Tuan Besar, kami tidak begitu mengerti dan tidak bisa berbuat apa-apa karena penyakit itu di luar pengetahuan kami. Miss Madison sudah didiagnosa sejak sebelum keberangkatannya ke St Edward’s untuk tahun terakhirnya,” tutur Bathsheba.

Jadi itu sebabnya Valerie tampak begitu bersedih saat itu. Ia baru mengetahui bahwa usianya tidak akan lama lagi.

”Beliau melarang saya memberitahu siapa pun, bahkan pihak sekolah dan keluarga Tuan Besar. Miss Madison sangat terpukul pada awalnya, tapi semangat hidupnya timbul lagi. Saya tidak tahu kenapa, tapi saya rasa itu karena diri Anda.

”Kemudian kami mencoba membuat obat penawar. Dan rupanya penawar itu berhasil meredakan rasa sakit dan sedikit memperpanjang umurnya, walaupun tidak bisa sepenuhnya menyembuhkan penyakit itu.”

Aku berlutut di depan nisannya, mengusap nama yang terukir di sana. Mataku memanas.

”Nona Muda amat mencintai Anda, apakah Anda tahu itu?”

Aku tidak menjawab. Dadaku terasa sesak.

”Pesan-pesan Anda-lah yang menjadi semangat hidupnya di saat-saat terakhirnya. Beliau selalu membacanya dan meminta saya membalaskan untuknya ketika ia sudah tidak sanggup lagi mengetik.”

Aku sungguh amat menyesal. ”Dia tidak pernah bilang padaku.”

”Beliau tidak ingin membebani Anda. Tapi beliau menunjukkan perasaannya yang sebenarnya pada saya. Beliau mencintai Anda. Percayalah.”

”Aku percaya,” Air mata mengalir tanpa suara di wajahku. Tubuhku gemetaran dipenuhi kesedihan mendalam. Aku merasakan tangan Bathsheba menepuk bahuku sebelum ia melangkah pergi, meninggalkanku sendirian. Terpekur di depan nisan Valerie.

Aku teringat kata-kata yang ditulis Valerie di bawah lukisannya.

Sahabatku. Teman baikku. Pria yang kucintai.

Demi Tuhan, Valerie... Mengapa aku selama ini begitu buta? Kukira sejak dulu, Brian-lah yang kausukai.

Mungkin aku sudah jatuh sayang padanya. Mungkin bahkan aku sudah jatuh cinta padanya. Namun semuanya sudah terlambat. Valerie sudah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.

Selamat tinggal, Richie,” Aku mengingat ucapannya saat ia terakhir kali memelukku.

Selamat tinggal, Valerie, my Fairy. Terima kasih untuk semuanya...

Aku mengambil seikat bunga lili—yang awalnya sengaja kubawa untuk kuberikan pada Valerie—dari tasku dan meletakkannya di samping bunga Bathsheba.

Itulah akhir cerita dari Valeria Madison. Gadis pertama yang mencintaiku dengan tulus. Gadis istimewa. Teman baikku.

* Macnamara’s, salah satu asrama di St Edward’s.

Review?